Perang Irak, Pak Halim, Chen

Anak-anak adalah korban yang paling memilukan. Keluarga yang kehilangan anggotanya. Pulang kerja menemukan rumahnya telah dihancurkan bom dan keluarganya lenyap. Seumur hidup mereka akan membenci pelaku perang ini. Rasa tak berdaya paling mudah menguasai kita di saat ini. Rasa apatis bahwa hal kecil yang kita lakukan takkan ada artinya, takkan mampu mengubah keadaan dan hanya sia-sia. 

Tapi demi menyahut dorongan nurani kita, agar kita tidak merasa terus berada di pihak yang tidak peduli di hadapan masalah kemanusiaan dan pelanggaran yang begitu nyata, kita perlu untuk menunjukkan keberatan kita, mengutuk perbuatan ini, menyeru pada penguasa alam dan manusia untuk menghentikan kekejaman dan ketidakadilan ini. Demi kejernihan nurani kita sendiri, kita harus menunjukkan sikap. Melihat demo antiperang di seluruh dunia memberi peneguhan betapa rasa kemanusiaan kita sama. Sama-sama pilu, sama-sama pedih melihat pameran kesombongan dan kerakusan ini. 
 ** 

Keluarga Pak Halim pulang ke Malaysia hari ini. Sekali lagi saya mendapat peran penampung barang-barang yang tak hendak dibawa pulang. Waktu Rozi pulang tahun lalu saya menyelamatkan panci masaknya yang besar, beberapa lembar sweater untuk Hanifa, dan persediaan bahan makanan terakhir mereka. Hari jumat yang lalu saya sudah membawa sedikit limpahan barang dari Habiba, mainan Mardiyah yang sudah pasti tidak akan dibawanya pulang dan bumbu masakan. Senin ini saya datang untuk mengambil lagi beberapa barang lain. Saya kira hanya akan berupa satu kantong kertas berisikan gelas-gelas dan teko yang sempat diperlihatkannya kepada saya waktu itu ditambah beberapa sisa bahan makanan. Saya terkejut ketika ternyata ada empat tas besar yang sudah disiapkannya. Saya tidak bisa membawanya sekali angkut. 

 Ketika membongkar bungkusan itu di rumah, saya mendapatkan segala jenis barang yang kurang lebih mencerminkan kehidupan mereka sehari-hari. Mereka gemar masakan dengan rempah-rempah yang lengkap, senang masakan timur tengah dan cina, mereka senang masak kue sendiri di rumah, banyak sisa tepung kue dan bahan-bahan home made cake. Mereka senang belanja barang-barang yang ternyata tidak diperlukan. Beberapa barang masih dalam bungkusan asalnya. Saya seperti diserahi tugas untuk membuat keputusan tentang barang mana yang mesti mereka relakan untuk dibuang saja. Sambil membereskan barang-barang itu saya mencatat apa saja yang ada di dalamnya. Dari cabe giling hingga tepung roti, timun dan tomat, kecap asin dan custard, kuas kue dan pemotong telur. Saya jadi ingin mewaspadai barang-barang yang tidak disadari terkumpul di lemari-lemari dapur. 

Kalau saya nanti pindah tentu akan kaget juga saya mendapati begitu banyak dapur itu menyimpan barang yang sebenarnya tidak perlu. Saya tidak ingin menyerahkan pada orang lain sesuatu yang saya sendiri enggan memakainya. Sisa-sisa bumbu masakan, misalnya. lebih baik saya merencanakan untuk menghabiskannya dalam berbagai masakan sebelum saya pindah. Menyerahkan pada orang lain barang-barang dalam kondisi tersisa itu benar-benar sangat dekat dengan ketidakpantasan, meski kita yakin itu masih bisa dimanfaatkan. 
** 

Minggu siang kemarin kami ke koganei koen, memotret ume yang mulai tiba di ujung masa mekarnya. Meskipun hari jumat lalu kami juga sudah ke yoshinobaigo koen di ome untuk mengunjungi kebun ume di perbuktian. Cuaca bagus, cerah dan hangat. Banyak orang yang datang piknik dan bermain di koen itu. Suasana awal musim semi yang ramai. Kami duduk makan makanan ringan dekat trek sepeda. Anak-anak berlatih melancarkan kayuhan sepedanya mengelilingi lapangan piknik. 

Mas Budi bercerita tentang Chen, seorang astronom keturunan Cina di Baltimore. Chen yang menemani berkeliling di Baltimore dalam kunjungan ke Amerika Oktober tahun lalu. Kami bicara soal nasionalisme, bagaimana seorang yang sudah lama berada di negara lain bisa beradaptasi dengan keadaan sekitarnya dan berubah menjadi orang berkebangsaan lain. Chen kini telah menjadi warga negara AS. Itu dilakukannya demi kepraktisan pengurusan visa. Jika dia harus ke luar negeri, kalau tetap sebagai warga asing terlalu banyak kerepotan soal administratifnya. Setelah puluhan tahun di AS dan punya anak yang kini sudah duduk di universitas suatu kali dia pulang ke Cina. 

Dia tidak merasa mampu lagi untuk tinggal dan hidup dengan cara yang berlaku di negeri kelahirannya itu. Berdesakan di gerbong kereta, antrian panjang orang untuk beli tiket kereta. Dia tidak bisa, mungkin lebih karena usia daripada kebiasaan di Amerika yang berbeda. Tapi saya kira identitas kebangsaan tentu bukan cuma soal pengalaman fisik seperti itu. Dia tentu tetap merasa seorang Cina dalam jati dirinya, entah dari rasa bahasa atau selera makan. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah dia kini lebih bangga sebagai orang amerika atau cina. 
 ** 

Mengikuti berita perang irak kini bagi saya tujuannya adalah untuk mencari harapan dan tanda-tanda. harapan bahwa perang ini akan segera berakhir.

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"