Dua puisi
Sabtu lalu saya menghadiri workshop puisi FLP Jepang di Komaba. Saya tak pernah mencoba menulis puisi dan jarang sekali membaca puisi. Ada anggapan tak teruji bahwa puisi sulit dinikmati dan sulit untuk ditulis. Saya bukan pengapresiasi puisi yang baik.
Ketika ada sesi untuk berlatih kemarin, saya tidak mengambil kesempatan untuk mencoba menulis puisi, selain karena saya disibukkan dengan tangis Rasyad, juga karena ide yang tak kunjung ditangkap.
Saya merasa punya utang pada diri sendiri untuk mencipta puisi setelah repot-repot ikutan workshop itu.
Lewat tengah malam keesokan harinya, setelah Rasyad kembali tertidur sehabis diganti popoknya, saya tiba-tiba mendapat ide untuk menulis sebuah puisi, dan langsung saya catat saat itu juga. Inilah hasilnya, puisi saya yang pertama setelah bertahun-tahun:
Menyambut musim semi
Musim yang menggigilkan ini tampaknya akan segera berganti
Ketika kubuka jendela pagi, udara yang kuhirup dalam-dalam
membawakan harum bunga-bunga dan tanah basah
Tunas tulip telah lama merekah,
daun-daun tebalnya sepuluh sentimeter di atas tanah
Isi lemari harus dikemasi lagi,
baju-baju tebal itu sudah boleh menepi
selimut-selimut berat dilipat dan disimpan
di sudut yang jauh
hingga musim ini datang kembali.
Sebentar lagi pohon kaki di halaman tetangga akan lebat berdaun,
hijau muda daun-daun barunya akan menyegarkan mata
Bersiaplah dengan kamera
karena musim yang akan tiba ini cantik tiada tara.
***
Bayiku
Memandang wajahmu, aku berangan-angan tentang suatu hari
ketika kau telah dewasa, sibuk mencari tempatmu di dunia,
menjelma seorang pemuda yang selalu memanggilku bunda.
Di manakah engkau saat itu,
dekatkah sehingga untuk bicara setiap hari
kita hanya perlu mengetik daun pintu,
jauhkah sehingga untuk mendengar suaramu
aku perlu menekan beberapa tombol angka
Memandang wajah teduhmu, aku yakin
Tuhan tidak akan pernah bosan mengirim lagi seorang manusia baru
untuk pelipur bagi dunia yang kian penuh nestapa
Mengingat kerinduanku nanti,
aku ingin membenamkan wajahku dalam-dalam di lekuk lehermu kini.
Komentar
Posting Komentar