Mizutani-san 水谷 澄子
Ada rasa sepi menyelinap ketika pagi ini saya menengok ke apartemen tetangga di sebelah kanan. Jendela kacanya yang tak lagi bergorden, menampakkan kamar kosong dengan dinding polos. Halaman belakangnya yang dulu penuh tanaman kini hanya tanah coklat. Tak ada lagi ajisai putih yang cantik di pojok kirinya. Tak ada lagi rumpun-rumpun bunga dan beragam tumbuhan yang sering disirami dan disianginya. Semua sudah dibersihkan, dikemas, dan dibagikan ke para peminat karena penghuninya mesti pindah rumah dua hari yang lalu.
Kalau sekadar tetangga biasa saya pasti tidak akan merasakan kesan sepi itu. Penghuni apartemen ini sering berganti, selalu datang dan pergi, terutama yang di lantai dua. Meski tinggal dalam satu bangunan, kami nyaris tidak saling mengenal. Hanya nama di kotak pos yang membuat kami bisa menyebut siapa yang tinggal di kamar nomor berapa.
Tapi tetangga yang satu ini berbeda. Beliau seorang nenek yang berusia mendekati delapan puluh tahun. Sejak pertama kami tinggal di apartemen ini lima tahun yang lalu, beliaulah tetangga yang paling hangat dan ramah sambutannya. Keramahan yang bukan sekadar basa basi, tapi bersumber dari hatinya yang baik dan peduli.
Mizutani Sumiko namanya. Dia punya satu anak laki-laki dan dua cucu yang tidak tinggal bersamanya. Suaminya sudah mendahului. Ibu Mizutani tinggal sendirian di kamar apartemen yang sudah dihuninya sejak sembilan tahun yang lalu. Pindah rumah pada usia ini terasa tidak biasa, kecuali untuk alasan yang sangat kuat. Dia pindah karena memenangkan undian untuk mendapatkan tempat tinggal di mansion khusus buat orang usia lanjut. Barangkali tempat yang baru itu lebih baik, dan juga lebih murah, karena disediakan oleh pemerintah.
Kami sering bertegur sapa, saling menyapa dan mengobrol dari teras belakang atau ketika bertemu di teras depan. Dia sering memberi hadiah kepada kami. Dia pernah memberi saya baju, tas, mochi ketika saya sedang hamil pertama, telur sebagai hadiah membantu membersihkan halamannya, boneka Jepang menjelang kami pulang liburan ke Indonesia, suplemen koran yang berisikan gambar-gambar karakter anime untuk Hanifa, piring dan sendok kecil dari Disney Land, buah-buahan, kipas waktu musim panas pertama. Dia sering menghadiahkan sembei (kerupuk Jepang) kepada Hanifa, juga bunga yang sedang mekar di halamannya, untuk dipetik atau untuk ditanam lagi di halaman kami. (Salah satu pemberiannya terakhir sebelum pindah membuat saya berkenalan untuk pertama kalinya dengan permainan yang bernama HappyCube)
Saya sampai menduga bahwa setiap kali ada kesempatan bertemu maka ibu Mizutani langsung memikirkan kira-kira barang apa yang bisa dia hadiahkan. Begitulah gambaran kebaikan dan perhatiannya. Karena sering saling perlu mengetuk pintu, kami punya kesepakatan tentang cara mengetuk sebagai tanda. Orang Jepang umumnya mengetuk pintu dengan dua ketukan keras, kami sepakat untuk saling menggunakan tiga ketukan. Kalau dia pulang dari jalan-jalan ke luar kota, tidak jarang dia memberi kami oleh-oleh makanan khas dari daerah itu. Dia mengetuk pintu dan cepat-cepat menyodorkan bungkusan itu sambil menceritakan sedikit tentang perjalanannya.
Sekarang, tidak akan terdengar lagi suara seraknya menyapa "konnichiwa" dari balik dinding pembatas teras belakang. Punya tetangga yang baik adalah sebuah berkah, apalagi di tempat yang asing ini, di mana keramahan seperti itu sangat jarang didapatkan. Ibu Mizutani punya tempat khusus dalam pengalaman kami hidup di Jepang.
Kalau sekadar tetangga biasa saya pasti tidak akan merasakan kesan sepi itu. Penghuni apartemen ini sering berganti, selalu datang dan pergi, terutama yang di lantai dua. Meski tinggal dalam satu bangunan, kami nyaris tidak saling mengenal. Hanya nama di kotak pos yang membuat kami bisa menyebut siapa yang tinggal di kamar nomor berapa.
Tapi tetangga yang satu ini berbeda. Beliau seorang nenek yang berusia mendekati delapan puluh tahun. Sejak pertama kami tinggal di apartemen ini lima tahun yang lalu, beliaulah tetangga yang paling hangat dan ramah sambutannya. Keramahan yang bukan sekadar basa basi, tapi bersumber dari hatinya yang baik dan peduli.
Mizutani Sumiko namanya. Dia punya satu anak laki-laki dan dua cucu yang tidak tinggal bersamanya. Suaminya sudah mendahului. Ibu Mizutani tinggal sendirian di kamar apartemen yang sudah dihuninya sejak sembilan tahun yang lalu. Pindah rumah pada usia ini terasa tidak biasa, kecuali untuk alasan yang sangat kuat. Dia pindah karena memenangkan undian untuk mendapatkan tempat tinggal di mansion khusus buat orang usia lanjut. Barangkali tempat yang baru itu lebih baik, dan juga lebih murah, karena disediakan oleh pemerintah.
Kami sering bertegur sapa, saling menyapa dan mengobrol dari teras belakang atau ketika bertemu di teras depan. Dia sering memberi hadiah kepada kami. Dia pernah memberi saya baju, tas, mochi ketika saya sedang hamil pertama, telur sebagai hadiah membantu membersihkan halamannya, boneka Jepang menjelang kami pulang liburan ke Indonesia, suplemen koran yang berisikan gambar-gambar karakter anime untuk Hanifa, piring dan sendok kecil dari Disney Land, buah-buahan, kipas waktu musim panas pertama. Dia sering menghadiahkan sembei (kerupuk Jepang) kepada Hanifa, juga bunga yang sedang mekar di halamannya, untuk dipetik atau untuk ditanam lagi di halaman kami. (Salah satu pemberiannya terakhir sebelum pindah membuat saya berkenalan untuk pertama kalinya dengan permainan yang bernama HappyCube)
Saya sampai menduga bahwa setiap kali ada kesempatan bertemu maka ibu Mizutani langsung memikirkan kira-kira barang apa yang bisa dia hadiahkan. Begitulah gambaran kebaikan dan perhatiannya. Karena sering saling perlu mengetuk pintu, kami punya kesepakatan tentang cara mengetuk sebagai tanda. Orang Jepang umumnya mengetuk pintu dengan dua ketukan keras, kami sepakat untuk saling menggunakan tiga ketukan. Kalau dia pulang dari jalan-jalan ke luar kota, tidak jarang dia memberi kami oleh-oleh makanan khas dari daerah itu. Dia mengetuk pintu dan cepat-cepat menyodorkan bungkusan itu sambil menceritakan sedikit tentang perjalanannya.
Sekarang, tidak akan terdengar lagi suara seraknya menyapa "konnichiwa" dari balik dinding pembatas teras belakang. Punya tetangga yang baik adalah sebuah berkah, apalagi di tempat yang asing ini, di mana keramahan seperti itu sangat jarang didapatkan. Ibu Mizutani punya tempat khusus dalam pengalaman kami hidup di Jepang.