Merah

Malam ini aku mengenakan pakaian berwarna merah. Ini bukan suatu yang luar biasa jika merah adalah warna kesukaanku. Tapi tidak, merah sesungguhnya adalah warna yang paling kubenci, sejak dulu. Tak pernah sekali pun aku mengenakan warna merah pada bagian mana pun dari tubuhku, bahkan untuk lipstik aku selalu memilih rona warna ungu. Sepatu kesukaanku selalu berwarna putih, dan tas tangan tak pernah berpindah dari warna kuning. Merah adalah musuhku. Ketika berusia sepuluh tahun, aku melihat warna merah darah di leher abangku. Seorang preman menusukkan pisau ke bagian tubuhnya yang paling genting itu setelah mereka adu mulut tentang seekor anjing yang lewat di depan warung tuak. Mereka sedang mabuk. Tak ada yang melerai mereka berkelahi, hari sudah larut malam. Tak ada orang lain yang tahu kecuali aku yang sedang duduk di teras rumahku yang tak terlalu jauh dari situ. Tirai depan warung tuak itu pun berwarna merah. Mereka tak pernah mengganti warna itu sekalipun musim mengecat menjelang Agustusan tiba. Lima tahun kemudian, aku melihat lagi warna merah yang menyeramkan itu di dinding kamar ayahku. Darah lagi. Cipratan darah dari mulut ayah yang jatuh tewas di dekat dinding setelah sebelumnya batuk-batuk darah hebat. Penyakit parah menggerogoti paru-parunya. Merah lekat dengan kenangan yang tak lezat di benakku. Aku tak suka warna itu sekalipun ketika itulah pilihan warna yang dibilang orang tepat untuk kombinasi pakaianku. Aku benci merah. Malam ini sebuah pengecualian karena inilah saat aku meninggalkan masa laluku. Aku akan berubah menjadi seorang yang baru. Namaku baru, wajahku baru, negeriku baru. Malam ini aku memakai pakaian berwarna merah, siap untuk dimasukkan ke dalam tanah. Merah adalah warna pilihanku untuk mengantarkanku ke peristirahatan terakhir. Demikian wasiat yang pernah kusampaikan.

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"