The Passion of Christ




Setelah membaca tatal ke-24 dalam buku Gunawan Mohamad, Tuhan dan hal-hal yang tak selesai, aku jadi ingin melihat film The Passion of Christ. Disutradarai Mel Gibson, dirilis pada 2004, film ini sempat bikin gegar, tapi waktu itu aku tidak punya dorongan untuk menontonnya--kamu tahu sekadar kebaruan tidak selalu jadi alasan yang cukup kuat bagiku untuk memilih melakukan sesuatu. 

Berikut ini catatan kesanku setelah menyaksikan film lawas itu. 

Aku pikir, dalam film ini Mel Gibson tidak berurusan dengan kebenaran, dia hanya berkepentingan dengan penggambaran. Maka membandingkan filmnya dengan versi yang ada di dalam buku-buku tentang peristiwa penyaliban Yesus jadi sama sekali tidak menarik, kalau bukan tidak pada tempatnya. 

Mempersoalkan kebenarannya sama sekali tidak relevan. Demi penggambaran yang kuat, Mel Gibson harus memilih detail dari sekian banyak versi yang beredar, dan sepertinya apa yang dia pilih memang yang paling dekat dengan versi Alkitab: penangkapan oleh Sanhedrin pada malam hari, tuduhan dari Kayafas, Yudas mati bunuh diri, pengadilan oleh Pontius Pilatus pagi harinya, dioper ke raja Herodes, diolok-olok Herodes dan dikirim kembali ke Pilatus. Yesus dihukum rajam sebelum penyaliban, kemudian terjadi gempa dan angin ribut setelah dia mati di tiang salib. Lalu ada beberapa detik adegan jasad Yesus diturunkan ke tangan Maria dan kebangkitan kembali di bagian akhir. 
Mungkin terlalu banyak darah dalam film ini. Banyak bagian yang ingin kita lewatkan dengan mata terpicing dan wajah meringis. Namun barangkali memang demikianlah kekejaman cara penghukuman abad pertengahan. Dan film ini menambah kesan kuat dengan membiarkan seluruh dialog berlangsung dalam bahasa aramaik dan latin. 

Tapi, aku berharap lima kali kemunculan malaikat maut yang bergentayang dalam film ini tidak pernah ada. 

Walhasil, benar belaka apa yang ditulis GM. Lewat film ini Mel Gibson mendobrak banyak tabu dalam penggambaran peristiwa di Golgota. Tidak lagi takzim dan dibungkus misteri, tapi sangat terang, sadis dan haus darah. GM bahkan melabelnya dengan istilah yang nyentrik: film pornografi keyakinan. Yang menyoroti apa-apa yang dianggapnya relevan secara hiperbolis, dan yang relevan itu melulu bersifat badaniah. 

Sekadar memenuhi rasa ingin tahu. Aku tak berminat untuk menontonnya dua kali. Tapi, hei, aku jadi ingin lihat film sejenis The Last Temptation of Christ dan The Gospel According to Matthew...


Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"