Breakfast at Tiffany's (Review Buku)



Usai membaca novella karya Truman Capote ini, rasanya seperti mendapat kenalan baru seorang wanita muda bernama Holly Golightly. Berusia 19 tahun, tinggal di apartemen berbata cokelat di East Seventies, New York, dia seperti seorang teman yang ceriwis dan tak hentinya berbicara. Bahkan setelah cerita ditutup, dan dia sudah entah berada di mana, Afrika ataukah Brazil, celotehannya serasa belum berakhir.

Ya, barangkali itu karena Capote menutup novel tipis yang terbit pertama kali di Amerika pada 1958 ini dengan penyelesaian yang mengambang. Atau karena sekujur tubuh novel singkat ini didominasi percakapan antara Holly dan Fred, tokoh narator yang menjadi mata dan telinga bagi pembaca, sehingga kesan auditorial menjadi sangat kuat ketika membacanya. Bisa jadi gabungan keduanya. Tapi, baiklah, Anda putuskan sendiri apakah akan menyukai seorang seperti Holly atau tidak.

Holly seorang wanita muda yang masa kecilnya tidak bahagia, menikah pada usia 14 dan bekerja sebagai gadis panggilan kelas atas yang sesekali menjadi pembawa pesan rahasia bagi bos mafia yang sedang dibui. Dia selalu berpenampilan menawan. Kesan berselera tinggi terpancar dari pakaiannya, bernuansa biru dan kelabu serta kepolosan yang menjadikannya bersinar. Gemar mengenakan kacamata hitam besar. Fred pada awal kisah mengaku belum pernah melihatnya tanpa kacamata hitam.

Dia memelihara seekor kucing dan pandai bermain gitar. Permainan gitarnya sangat bagus, terkadang dia juga menyanyi dengan suara serak, dan tahu betul semua lagu dari pertunjukan populer. Dia penggemar berat kuda, tapi benci bisbol meski harus mendengarkan siaran bisbol di radio karena menurutnya “sangat sedikit topik yang dikuasai pria. Jika seorang pria tidak menyukai bisbol maka dia pasti menyukai kuda, dan jika dia tidak menyukai keduanya, … berarti aku dapat masalah: dia tidak menyukai wanita.”

Menurut pengamatan Fred, Holly dan perpustakaan bukan pasangan yang wajar, sehingga dia nyaris tidak mengenalinya ketika melihat Holly turun dari taksi dan berlari menaiki tangga perpustakaan umum. Dia punya dorongan aneh untuk mengutil, suatu kali mengajak Fred untuk “mencuri sesuatu” di Woolworth’s, keluar dari toko dengan membawa topeng anjing dan kucing hasil curian di wajah mereka.

Dan, dia sangat populer. Sering mendapat segepok surat cinta yang diamati Fred menumpuk di keranjang sampah di luar apartemennya. Surat-surat itu selalu dirobek-robek memanjang seperti pembatas buku, dengan kata-kata seperti balaslah suratku, kumohon, merindukanmu, kesepian, dan cinta paling sering muncul dalam robekan-robekan itu. Di dalam buku itu, dia mengaku hanya memiliki 11 orang kekasih!

Tentu saja kita tidak harus suka atau tidak suka pada Holly. Tapi sosok rekaan Capote ini ditampilkan begitu mendetail dan hidup, sehingga tak mengherankan jika dia terasa seperti seseorang yang sangat tak asing bagi kita setelahnya. Selain itu, dialog-dialog dalam novel yang edisi Indonesianya diterbitkan Serambi ini mengalir deras dan kuat. Tanpa banyak narasi deskripsi kita dapat merasakan karakter tokohnya melalui kalimat dan gesturnya dalam percakapan. Dengan gaya bercerita nostalgis, plot bukan hal penting di sini. Ketegangan nyaris tak terasa, bahkan saat Holly ditangkap polisi karena keterlibatannya sebagai penyampai pesan untuk bos mafia itu.

Agak aneh juga bahwa novel ini berjudul Breakfast at Tiffany’s, karena sepanjang ceritanya di buku, tak pernah ada adegan aktual Holly sarapan di depan toko perhiasan Tiffany’s sebagaimana adegan pembuka versi filmnya. Satu-satunya kalimat yang mengandung pernyataan itu hanya berbau pengandaian: “Aku ingin tetap menjadi diriku sendiri saat terbangun pada suatu pagi yang cerah dan sarapan di Tiffany’s” (h. 55). Dan sekitar dua kali penyebutan lagi sekitar halaman yang sama.

Novel ringan ini bukan adikarya Capote, tapi ia adalah sebuah buku yang bernasib mujur. Sampai sekarang konon buku ini masih terjual sekitar 30.000 kopi per tahunnya. Versi filmnya (1961) melambungkan Audrey Hepburn menjadi salah satu bintang papan atas Hollywood. Sedangkan poster filmnya, yang menampilkan Hepburn berpose mengenakan gaun hitam dengan pipa rokok panjang menjadi salah satu ikon Hollywood abad ke-20. 

Sepanjang abad lalu popularitasnya terus berkibar dan memberi banyak pengaruh pada budaya pop (edisi Serambi memuat daftar panjangnya pada lampiran di bagian belakang buku). Terutama karena posisi istimewanya itulah agaknya buku klasik ini pantas untuk dikenali dan dibaca.**

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"