Satu Hari di Bangsal Perawatan Kanker
Chris seorang pria kaya yang memiliki segalanya--uang, kebebasan, teman-teman, keluarga--tapi merasa kehilangan sesuatu yang paling dia butuhkan: kebahagiaan sejati. Gemerlap dunia, kesenangan, dan kekuasaan berada dalam genggamannya. Dia adalah sosok impian semua orang, berusia setengah baya, dan melenggang dalam kehidupan serba nyaman. Tapi suatu hari dia berada di ruang konsultasi seorang psikolog. Dia butuh bantuan menemukan kebahagiaan yang dicarinya. Sang terapis memberi satu resep: menjadi sukarelawan di bangsal perawatan kanker untuk anak-anak.
Chris menceritakan pengalamannya melewati hari pertama, sebagaimana dikisahkan sang terapis.
"Sampai kira-kira tengah hari," kata Chris, "aku masih sanggup mengendalikan diri tanpa terpengaruh oleh keadaan sekelilingku. Namun menjelang sore aku berjalan menyusuri lorong bangsal dan melewati sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu tampak seorang ayah dan ibu sedang menangis keras sambil berpelukan. Aku pun mengintip ke dalam karena penasaran, dan ketika aku lihat mereka sedang menutupkan selimut... "
Dia berhenti dan merapatkan kedua bibirnya kuat-kuat. "Seorang perawat sedang menutupkan kain putih di atas tubuh sesosok gadis kecil berkepala botak yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Usianya tak lebih muda dari anak perempuanku."
Dia berhenti lagi. "Tak lebih muda dari putriku, Hailey--yang melewatkan liburannya di summer camp." Dia terpaksa berhenti.
"Apa yang dikatakan gadis kecil itu kepadamu, secara kiasan?" tanya sang terapis.
"Dia seolah-olah berkata, 'Jangan sia-siakan kesempatan untuk bersama Hailey.'"
Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, seolah kejadian mencekam itu merupakan pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Kita meyakini bahwa pengalaman menggembirakanlah yang akan membuat kita bahagia. Bukan itu.
"Selama ini aku selalu berpikir kematian akan membuat hidup menjadi tak berarti--seakan-akan hidup ini menjadi tak berguna. Bagaimana orang bisa bahagia jika dia tahu bahwa kematian akan datang? Tapi satu hari saja di bangsal perawatan itu, aku pun sadar bahwa justru kematianlah yang membuat hidup ini begitu berharga. Aneh!"
Dari buku Dan Baker, What Happy People Know
"Sampai kira-kira tengah hari," kata Chris, "aku masih sanggup mengendalikan diri tanpa terpengaruh oleh keadaan sekelilingku. Namun menjelang sore aku berjalan menyusuri lorong bangsal dan melewati sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu tampak seorang ayah dan ibu sedang menangis keras sambil berpelukan. Aku pun mengintip ke dalam karena penasaran, dan ketika aku lihat mereka sedang menutupkan selimut... "
Dia berhenti dan merapatkan kedua bibirnya kuat-kuat. "Seorang perawat sedang menutupkan kain putih di atas tubuh sesosok gadis kecil berkepala botak yang terbujur kaku di atas tempat tidur. Usianya tak lebih muda dari anak perempuanku."
Dia berhenti lagi. "Tak lebih muda dari putriku, Hailey--yang melewatkan liburannya di summer camp." Dia terpaksa berhenti.
"Apa yang dikatakan gadis kecil itu kepadamu, secara kiasan?" tanya sang terapis.
"Dia seolah-olah berkata, 'Jangan sia-siakan kesempatan untuk bersama Hailey.'"
Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, seolah kejadian mencekam itu merupakan pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya. Kita meyakini bahwa pengalaman menggembirakanlah yang akan membuat kita bahagia. Bukan itu.
"Selama ini aku selalu berpikir kematian akan membuat hidup menjadi tak berarti--seakan-akan hidup ini menjadi tak berguna. Bagaimana orang bisa bahagia jika dia tahu bahwa kematian akan datang? Tapi satu hari saja di bangsal perawatan itu, aku pun sadar bahwa justru kematianlah yang membuat hidup ini begitu berharga. Aneh!"
Dari buku Dan Baker, What Happy People Know
Komentar
Posting Komentar