Orkestra suatu siang
Suatu siang. Terik membawa langkahku mencari keteduhan. Deretan bangku kosong di sebuah taman. Tak ada sesiapa di sana. Hanya jejak-jejak langkah di atas pasir, mungkin seorang anak, seekor anjing dan beberapa ayam.
Aroma kegembiraan serasa masih mengambang di udara. Riuh rendah sorak anak-anak bergembira, kicau burung, dan suara kita bercengkerama. Tersimpan abadi di rekaman masa, datang kembali bersama suasana.
Aku menghirupnya dalam-dalam, memenuhi rongga dada dengan kesegarannya. Kapan itu, kukira sudah cukup lama. Namun tak layu juga. Barangkali sudah dua minggu berlalu. Aku tak begitu ingat.
Dari kejauhan alunan Concerto Grosso No. 5 terdengar riang. Siang di waktu yang lalu itu, musik yang sama terbawa angin. Tak jelas dari arah mana.
Terngiang kalimat yang kamu ucapkan saat itu, “Vivaldi pasti sedang menghapus jejak sedihnya saat mencipta lagu itu.” “Ngarang,” kubilang. “Memang.” Lalu kita diam. Delapan menit, sampai alun musik berakhir.
Sebenarnya tak bisa benar-benar diam menikmati nada itu. Keceriannya terlalu besar untuk hanya dinikmati dalam hening belaka. Tak dapat kita menahan senyum saat usai alunannya, seolah-olah di hadapan kita sebuah orkestra kecil baru saja menyudahi penampilan mereka.
Siang ini, aku duduk di sana. Delapan menit. Seluruh suara lain seolah redam. Sunyi memperkuat irama. Lalu tersenyum seperti saat itu. Merayakan keajaiban setiap momen kegembiraan yang melapangkan dada. Siang terik berubah sejuk seketika, meski matahari masih garang menyala.[yl]
Aroma kegembiraan serasa masih mengambang di udara. Riuh rendah sorak anak-anak bergembira, kicau burung, dan suara kita bercengkerama. Tersimpan abadi di rekaman masa, datang kembali bersama suasana.
Aku menghirupnya dalam-dalam, memenuhi rongga dada dengan kesegarannya. Kapan itu, kukira sudah cukup lama. Namun tak layu juga. Barangkali sudah dua minggu berlalu. Aku tak begitu ingat.
Dari kejauhan alunan Concerto Grosso No. 5 terdengar riang. Siang di waktu yang lalu itu, musik yang sama terbawa angin. Tak jelas dari arah mana.
Terngiang kalimat yang kamu ucapkan saat itu, “Vivaldi pasti sedang menghapus jejak sedihnya saat mencipta lagu itu.” “Ngarang,” kubilang. “Memang.” Lalu kita diam. Delapan menit, sampai alun musik berakhir.
Sebenarnya tak bisa benar-benar diam menikmati nada itu. Keceriannya terlalu besar untuk hanya dinikmati dalam hening belaka. Tak dapat kita menahan senyum saat usai alunannya, seolah-olah di hadapan kita sebuah orkestra kecil baru saja menyudahi penampilan mereka.
Siang ini, aku duduk di sana. Delapan menit. Seluruh suara lain seolah redam. Sunyi memperkuat irama. Lalu tersenyum seperti saat itu. Merayakan keajaiban setiap momen kegembiraan yang melapangkan dada. Siang terik berubah sejuk seketika, meski matahari masih garang menyala.[yl]
wis.... :)
BalasHapus