Buah Tangan dari UWRF 2011
7 Oktober
Junot Diaz urung ke Ubud. Demikian kabar yang saya dapat dari panitia di ticketbox UWRF saat pertama tiba di lokasi. Sejenak saya tertegun, seolah semua rencana buyar lantaran berita itu. Memang, saya datang ke Ubud pada hari ketiga pelaksanaan UWRF tahun ini dengan jadwal utama menghadiri program yang menampilkan penulis Amerika asal Dominika itu. Edisi Indonesia bukunya yang memenangi hadiah Pulitzer untuk Fiksi pada 2008, A Brief Wondrous Life of Oscar Wao, baru saja diterbitkan Mizan untuk mengejar momen kehadirannya di festival tahunan ini. Sayangnya, Diaz mengalami sakit punggung pada menit-menit terakhir sebelum keberangkatan. Pembatalan kunjungannya memang sangat tiba-tiba.
Tapi tak mengapa. Ada puluhan program lain dalam rangkaian acara UWRF untuk menggantikannya. Maka, siang itu saya bersama dua orang teman memilih ikut workshop literary criticism yang dipandu Rebecca Starford, seorang kritikus sastra Australia. Pesertanya sepuluh orang, lima dari Australia, lima dari Indonesia, dengan latar belakang mulai dari penulis lepas, guru, travel writer, pemilik toko buku, penerbit, dan editor. Workshop ini seperti sebuah pelatihan menulis resensi biasa. Beberapa hal baru saya dapatkan dari Rebecca terutama tentang lanskap dunia perbukuan Australia. Saya menyukai cara presentasinya yang santai dan tanya jawabnya yang spontan.
Malam harinya kami mengikuti jamuan makan malam di Honeymoon Guest House milik Janet, tuan tumah UWRF. Semua penulis dan peserta festival ini hadir di sana. Saya dan teman-teman duduk semeja dengan Izzeldin Abuelaish (penulis I Shall Not Hate) dan Nuri Vittachi (penulis novel Feng Shui Detective).
Ketika membaca buku Izzeldin, saya membayangkan sosoknya setangguh batu karang, kuat, tegar, melindungi. Duduk dan berbincang bersamanya malam itu meneguhkan kesan tersebut. Dibesarkan dalam lingkungan yang keras, dia seorang yang tegas, tak mudah mengkompromikan nilai-nilai yang dipegangnya, namun tetap ramah dan murah senyum. Sedangkan Nuri, jurnalis Hong Kong asal Srilanka, konon dijuluki sebagai "the funniest man alife." Sosoknya saja memang sudah lucu, apalagi kalau dia sudah mulai bicara. Dia orang yang ramai, punya banyak koleks lelucon.
Dalam arus percakapan di meja makan malam itu, di tengah suguhan nasi kuning, kari ayam, tuna bumbu Bali dan lainnya, Nuri dan Izzeldin terlibat diskusi hangat soal "Muslim Joke". Nuri bercerita bahwa dia sering mendengar pernyataan bahwa orang Islam itu tidak humoris. Maka dalam beberapa tahun belakangan ini dia mengumpulkan cerita-cerita lucu untuk membuktikan bahwa dalam khazanah budaya kaum Muslim pun banyak cerita lucu, yang hingga kini pun tetap membuat orang tertawa, semisal cerita-cerita Nasrudin Hoja, kisah-kisah Sufi.
Akan tetapi, Tapi Izzeldin berpendapat bahwa istilah "Muslim joke" itu adalah sebuah kekeliruan, yang lebih tepat menurutnya adalah lelucon-lelucon yang tumbuh dalam budaya. Dia tidak menerima agama sebagai bahan tertawaan. (Saya sempat merekam pembicaraan mereka dalam video dan mengunggahnya di youtube). Sebelum pukul sepuluh, kami pamit dari acara jamuan makan malam itu dan kembali ke penginapan, mengumpulkan energi untuk mengikuti acara-acara UWRF seharian esok.
8 Oktober
Program yang paling mengesan bagi saya di hari ini adalah "Selimut Debu" yang dipresentasikan oleh penulisnya, Agustinus Wibowo, dan "I Shall Not Hate" oleh Izzeldin Abuelaish yang dipandu oleh jurnalis kenamaan Australia, Andrew Fowler.
Agustinus memulai presentasinya dengan bertanya kepada hadirin, gambaran apa yang melintas di benak mereka saat mendengar nama "Afghanistan." Kebanyakan mengatakan "perang", namun mungkin juga ada hal-hal lain seperti, burqa, opium, misteri, Kite Runner. Bagi Agustinus, kesan pertama saat dia mendatangi negeri penuh misteri itu pada 2003 adalah debu, debu yang masuk ke mata, hidung, tenggorokan, mengotori rambut dan telinganya.
Debu ternyata juga merupakan julukan bagi Afghanistan, dan kata itu sendiri memiliki banyak lapisan makna dalam bahasa setempat. Pada presentasinya, Agustinus menampilkan dua video yang dibuat dari kolase foto-foto menakjubkan dari perjalanannya ditambahi teks puitis dengan iringan musik latar berupa lagu Afghanistan yang indah. Agustinus adalah seorang foto jurnalis yang mumpuni, setiap gambar jepretannya menyampaikan sebuah cerita.
Dua film itu memberi gambaran bahwa Afghanistan bukan hanya perang, Afghanistan adalah sebuah negeri ramah namun dengan konflik yang hebat, sengsara di tengah keberlimpahan kekayaan dan keindahan alamnya. Orang-orang Afghanistan adalah orang-orang yang sangat menghormati tamu, rela mengorbankan apa saja untuk menjamu tamu. Karena berada pada lokasi yang strategis, titik pertemuan antara Asia Tengah, Rusia dan Eropa, negeri ini sejak berabad-abad lalu senantiasa berada dalam kondisi diperebutkan.
Lepas tengah hari, ruang terbuka aula Neka Museum dipenuhi hadirin yang ingin mengikuti sesi Izzeldin Abuelaish. Penulis buku I Shall Not Hate ini tampil dengan dipandu Andrew Fowler, penulis biografi Julian Assenge pendiri WikiLeaks, The Most Dangerous Man in the World. Andrew memandu acara dengan sangat efektif, hemat kata-kata, menggunakan metode wawancara dan membiarkan fokus sepenuhnya kepada Izzeldin.
Izzeldin tampil memukau sejak menjawab pertanyaan pertama dari Andrew Fowler, "bagaimana gambaran kehidupan di dalam kamp pengungsi." Sejenak lelaki kelahiran Gaza ini terdiam mencari kata yang paling tepat untuk melukiskannya. Mungkin penderitaan yang telalu besar dan berlarut-larut di sana sulit untuk disampaikan secara singkat kepada hadirin. Dia memilih untuk menggambarkan bahwa di sana anak-anak lahir untuk berjuang, anak-anak tidak sempat mencicipi masa kecil. Dia sendiri merasa tidak pernah memiliki masa kecil, karena sejak lahir dia sudah berada dalam keadaan berperang, bekerja untuk mencari uang, ikut membiayai kebutuhan keluarga, berupaya melepaskan diri dari kemiskinan. Anak-anak Palestina bersekolah bukan untuk mendapatkan pendidikan, tetapi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Keadaan di pengungsian secara aktual sangat buruk, listrik hanya tersedia beberapa jam dalam sehari, hanya beberapa hari dalam seminggu, sanitasi buruk, air bersih dalam kondisi terburuk di seluruh dunia, tingkat pengangguran mencapai 70%. Jumlah warga dalam keadaan teramputasi paling padat sedunia. Dan semua ini adalah penderitaan yang ditimpakan pada mereka oleh ulah sekelompok manusia (man-made suffering).
Izzeldin tampak menghela napas lelah saat diminta untuk menceritakan bagaimana mereka sampai harus tinggal di kamp pengungsi, apa yang terjadi saat dia tertahan hingga 24 jam di perbatasan Yordan-Israel ketika hendak menuju tempat istrinya terbaring sekarat di rumah sakit Israel yang hanya berjarak satu jam perjalanan dari sana, dan tentang peristiwa pengeboman yang menewaskan tiga putrinya, Dia tak bisa menahan air mata saat menceritakan kembali peristiwa-peristiwa memedihkan itu, namun dia juga memperlihatkan bahwa dengan mengontrol diri dia ingin menunjukkan kepada Israel bahwa kekuasaan mereka tidak berdaya di hadapan manusia. Dia tidak akan membenci.
Kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan Israel terhadapnya tidak akan mengaburkan pandangannya, tidak akan mengintimidasinya, atau mengalihkan fokusnya dari melihat kesamaan yang ada di dalam diri setiap manusia. Apa yang dilakukan terhadap Palestina sesungguhnya merupakan hal yang memalukan bagi kemanusiaan, karena sekelompok manusia dibiarkan menindas dan mendiskriminasi sebagian manusia lain, apa pun alasannya.
Pengalaman menyakitkan yang diceritakannya sangat menggugah emosi. Hadirin terharu, banyak di antaranya ikut menitikkan air mata mendengar fakta-fakta yang disampaikan Izzeldin. Tapi, tragedi kemanusiaan ini pasti akan berakhir, katanya. Izzeldin yakin setiap orang bisa melakukan sesuatu untuk membantu mengakhirinya. Ajari anak-anak Anda untuk jangan pernah takut bermimpi, mimpi itu dekat dengan realitas, tegasnya. Sebagaimana di dalam bukunya, pembicaraannya pun penuh taburan kalimat-kalimat bijak yang matang dipetik langsung dari pengalaman hidupnya, bukan kutipan dari hasil pemikiran orang lain.
Pada penutupan, Andrew meminta Izzeldin untuk membacakan puisi untuk putrinya Bessan yang termuat di bagian akhir bukunya. Emosi bercampur aduk, marah, sedih, pedih, tapi jangan benci. Di tengah itu semua Izzeldin tetap menyimpan harapan. Perkembangan terakhir di Timur Tengah kembali memperlihatkan bahwa kediktatoran, sesuatu yang ilegal, pemerintahan yang buruk dan menindas tidak akan bertahan lama. Melalui yayasan yang dia dirikan untuk mengenang putri-putrinya yang tewas Daughter For Life, Izzeldin memberikan beasiswa bagi pelajar-pelajar perempuan di banyak negara Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Sesuatu yang baik akan tumbuh dari keburukan yang menimpa kita, pesannya.
Hadirin yang memenuhui aula berdiri dan memberi aplaus panjang saat Andrew Fowler menutup sesi yang sangat menggugah ini. Hujan turun lebat mengiringi berakhirnya sesi ini, suasana yang sangat ranum untuk bermenung.
Junot Diaz urung ke Ubud. Demikian kabar yang saya dapat dari panitia di ticketbox UWRF saat pertama tiba di lokasi. Sejenak saya tertegun, seolah semua rencana buyar lantaran berita itu. Memang, saya datang ke Ubud pada hari ketiga pelaksanaan UWRF tahun ini dengan jadwal utama menghadiri program yang menampilkan penulis Amerika asal Dominika itu. Edisi Indonesia bukunya yang memenangi hadiah Pulitzer untuk Fiksi pada 2008, A Brief Wondrous Life of Oscar Wao, baru saja diterbitkan Mizan untuk mengejar momen kehadirannya di festival tahunan ini. Sayangnya, Diaz mengalami sakit punggung pada menit-menit terakhir sebelum keberangkatan. Pembatalan kunjungannya memang sangat tiba-tiba.
Tapi tak mengapa. Ada puluhan program lain dalam rangkaian acara UWRF untuk menggantikannya. Maka, siang itu saya bersama dua orang teman memilih ikut workshop literary criticism yang dipandu Rebecca Starford, seorang kritikus sastra Australia. Pesertanya sepuluh orang, lima dari Australia, lima dari Indonesia, dengan latar belakang mulai dari penulis lepas, guru, travel writer, pemilik toko buku, penerbit, dan editor. Workshop ini seperti sebuah pelatihan menulis resensi biasa. Beberapa hal baru saya dapatkan dari Rebecca terutama tentang lanskap dunia perbukuan Australia. Saya menyukai cara presentasinya yang santai dan tanya jawabnya yang spontan.
Malam harinya kami mengikuti jamuan makan malam di Honeymoon Guest House milik Janet, tuan tumah UWRF. Semua penulis dan peserta festival ini hadir di sana. Saya dan teman-teman duduk semeja dengan Izzeldin Abuelaish (penulis I Shall Not Hate) dan Nuri Vittachi (penulis novel Feng Shui Detective).
Ketika membaca buku Izzeldin, saya membayangkan sosoknya setangguh batu karang, kuat, tegar, melindungi. Duduk dan berbincang bersamanya malam itu meneguhkan kesan tersebut. Dibesarkan dalam lingkungan yang keras, dia seorang yang tegas, tak mudah mengkompromikan nilai-nilai yang dipegangnya, namun tetap ramah dan murah senyum. Sedangkan Nuri, jurnalis Hong Kong asal Srilanka, konon dijuluki sebagai "the funniest man alife." Sosoknya saja memang sudah lucu, apalagi kalau dia sudah mulai bicara. Dia orang yang ramai, punya banyak koleks lelucon.
Dalam arus percakapan di meja makan malam itu, di tengah suguhan nasi kuning, kari ayam, tuna bumbu Bali dan lainnya, Nuri dan Izzeldin terlibat diskusi hangat soal "Muslim Joke". Nuri bercerita bahwa dia sering mendengar pernyataan bahwa orang Islam itu tidak humoris. Maka dalam beberapa tahun belakangan ini dia mengumpulkan cerita-cerita lucu untuk membuktikan bahwa dalam khazanah budaya kaum Muslim pun banyak cerita lucu, yang hingga kini pun tetap membuat orang tertawa, semisal cerita-cerita Nasrudin Hoja, kisah-kisah Sufi.
Akan tetapi, Tapi Izzeldin berpendapat bahwa istilah "Muslim joke" itu adalah sebuah kekeliruan, yang lebih tepat menurutnya adalah lelucon-lelucon yang tumbuh dalam budaya. Dia tidak menerima agama sebagai bahan tertawaan. (Saya sempat merekam pembicaraan mereka dalam video dan mengunggahnya di youtube). Sebelum pukul sepuluh, kami pamit dari acara jamuan makan malam itu dan kembali ke penginapan, mengumpulkan energi untuk mengikuti acara-acara UWRF seharian esok.
8 Oktober
Program yang paling mengesan bagi saya di hari ini adalah "Selimut Debu" yang dipresentasikan oleh penulisnya, Agustinus Wibowo, dan "I Shall Not Hate" oleh Izzeldin Abuelaish yang dipandu oleh jurnalis kenamaan Australia, Andrew Fowler.
Agustinus memulai presentasinya dengan bertanya kepada hadirin, gambaran apa yang melintas di benak mereka saat mendengar nama "Afghanistan." Kebanyakan mengatakan "perang", namun mungkin juga ada hal-hal lain seperti, burqa, opium, misteri, Kite Runner. Bagi Agustinus, kesan pertama saat dia mendatangi negeri penuh misteri itu pada 2003 adalah debu, debu yang masuk ke mata, hidung, tenggorokan, mengotori rambut dan telinganya.
Debu ternyata juga merupakan julukan bagi Afghanistan, dan kata itu sendiri memiliki banyak lapisan makna dalam bahasa setempat. Pada presentasinya, Agustinus menampilkan dua video yang dibuat dari kolase foto-foto menakjubkan dari perjalanannya ditambahi teks puitis dengan iringan musik latar berupa lagu Afghanistan yang indah. Agustinus adalah seorang foto jurnalis yang mumpuni, setiap gambar jepretannya menyampaikan sebuah cerita.
Dua film itu memberi gambaran bahwa Afghanistan bukan hanya perang, Afghanistan adalah sebuah negeri ramah namun dengan konflik yang hebat, sengsara di tengah keberlimpahan kekayaan dan keindahan alamnya. Orang-orang Afghanistan adalah orang-orang yang sangat menghormati tamu, rela mengorbankan apa saja untuk menjamu tamu. Karena berada pada lokasi yang strategis, titik pertemuan antara Asia Tengah, Rusia dan Eropa, negeri ini sejak berabad-abad lalu senantiasa berada dalam kondisi diperebutkan.
Lepas tengah hari, ruang terbuka aula Neka Museum dipenuhi hadirin yang ingin mengikuti sesi Izzeldin Abuelaish. Penulis buku I Shall Not Hate ini tampil dengan dipandu Andrew Fowler, penulis biografi Julian Assenge pendiri WikiLeaks, The Most Dangerous Man in the World. Andrew memandu acara dengan sangat efektif, hemat kata-kata, menggunakan metode wawancara dan membiarkan fokus sepenuhnya kepada Izzeldin.
Izzeldin tampil memukau sejak menjawab pertanyaan pertama dari Andrew Fowler, "bagaimana gambaran kehidupan di dalam kamp pengungsi." Sejenak lelaki kelahiran Gaza ini terdiam mencari kata yang paling tepat untuk melukiskannya. Mungkin penderitaan yang telalu besar dan berlarut-larut di sana sulit untuk disampaikan secara singkat kepada hadirin. Dia memilih untuk menggambarkan bahwa di sana anak-anak lahir untuk berjuang, anak-anak tidak sempat mencicipi masa kecil. Dia sendiri merasa tidak pernah memiliki masa kecil, karena sejak lahir dia sudah berada dalam keadaan berperang, bekerja untuk mencari uang, ikut membiayai kebutuhan keluarga, berupaya melepaskan diri dari kemiskinan. Anak-anak Palestina bersekolah bukan untuk mendapatkan pendidikan, tetapi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Keadaan di pengungsian secara aktual sangat buruk, listrik hanya tersedia beberapa jam dalam sehari, hanya beberapa hari dalam seminggu, sanitasi buruk, air bersih dalam kondisi terburuk di seluruh dunia, tingkat pengangguran mencapai 70%. Jumlah warga dalam keadaan teramputasi paling padat sedunia. Dan semua ini adalah penderitaan yang ditimpakan pada mereka oleh ulah sekelompok manusia (man-made suffering).
Izzeldin tampak menghela napas lelah saat diminta untuk menceritakan bagaimana mereka sampai harus tinggal di kamp pengungsi, apa yang terjadi saat dia tertahan hingga 24 jam di perbatasan Yordan-Israel ketika hendak menuju tempat istrinya terbaring sekarat di rumah sakit Israel yang hanya berjarak satu jam perjalanan dari sana, dan tentang peristiwa pengeboman yang menewaskan tiga putrinya, Dia tak bisa menahan air mata saat menceritakan kembali peristiwa-peristiwa memedihkan itu, namun dia juga memperlihatkan bahwa dengan mengontrol diri dia ingin menunjukkan kepada Israel bahwa kekuasaan mereka tidak berdaya di hadapan manusia. Dia tidak akan membenci.
Kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan Israel terhadapnya tidak akan mengaburkan pandangannya, tidak akan mengintimidasinya, atau mengalihkan fokusnya dari melihat kesamaan yang ada di dalam diri setiap manusia. Apa yang dilakukan terhadap Palestina sesungguhnya merupakan hal yang memalukan bagi kemanusiaan, karena sekelompok manusia dibiarkan menindas dan mendiskriminasi sebagian manusia lain, apa pun alasannya.
Pengalaman menyakitkan yang diceritakannya sangat menggugah emosi. Hadirin terharu, banyak di antaranya ikut menitikkan air mata mendengar fakta-fakta yang disampaikan Izzeldin. Tapi, tragedi kemanusiaan ini pasti akan berakhir, katanya. Izzeldin yakin setiap orang bisa melakukan sesuatu untuk membantu mengakhirinya. Ajari anak-anak Anda untuk jangan pernah takut bermimpi, mimpi itu dekat dengan realitas, tegasnya. Sebagaimana di dalam bukunya, pembicaraannya pun penuh taburan kalimat-kalimat bijak yang matang dipetik langsung dari pengalaman hidupnya, bukan kutipan dari hasil pemikiran orang lain.
Pada penutupan, Andrew meminta Izzeldin untuk membacakan puisi untuk putrinya Bessan yang termuat di bagian akhir bukunya. Emosi bercampur aduk, marah, sedih, pedih, tapi jangan benci. Di tengah itu semua Izzeldin tetap menyimpan harapan. Perkembangan terakhir di Timur Tengah kembali memperlihatkan bahwa kediktatoran, sesuatu yang ilegal, pemerintahan yang buruk dan menindas tidak akan bertahan lama. Melalui yayasan yang dia dirikan untuk mengenang putri-putrinya yang tewas Daughter For Life, Izzeldin memberikan beasiswa bagi pelajar-pelajar perempuan di banyak negara Timur Tengah untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Sesuatu yang baik akan tumbuh dari keburukan yang menimpa kita, pesannya.
Hadirin yang memenuhui aula berdiri dan memberi aplaus panjang saat Andrew Fowler menutup sesi yang sangat menggugah ini. Hujan turun lebat mengiringi berakhirnya sesi ini, suasana yang sangat ranum untuk bermenung.
Komentar
Posting Komentar