Jerusalem: Dari Bukit Zion ke Bukit Golgota (3)
Gereja Makam Kudus, Jerusalem. Photo credit: suprunvitaly/CanvaPro |
Artikel ini merupakan nukilan dari buku Jerusalem: One City, Three Faiths (Karen Armstrong, 1997). Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan, dapat dipesan di sini.
Sejak awal kedatangannya, Yesus sudah meramalkan Kuil Herod akan hancur tak lama lagi. Beberapa hari sebelum Paskah, dia datang ke pelataran Kuil, melihat para pedagang yang melayani kebutuhan para peziarah. "Tidakkah dalam kitab suci dikatakan: Rumahku adalah tempat beribadah?" dia bertanya, "tapi kalian telah mengubahnya menjadi sarang perampok."
Bangsa Yahudi takkan pernah bisa tinggal diam mendengar Kuil mereka terancam. Kemunculan Yesus dan ramalannya tentang kehancuran kuil --apalagi disampaikan dalam suasana emosional menjelang Paskah -- membuat kaum Yahudi bertekad akan menyingkirkannya. Yesus adalah ancaman yang tak dapat diterima Yahudi. Kekaisaran Romawi di Jerusalem juga memandangnya sebagai pengganggu. Yesus pun dihukum mati. Dia disalib di Bukit Golgota pada 33 Masehi.
Ramalan Yesus terbukti. Pada 70 M, Kuil Herod yang gagah dihabisi oleh tentara Titus. Selama Romawi berkuasa di Jerusalem, seluruh sisa-sisa peninggalan Yahudi dihancurkan. Di atas puing Kuil Kedua, dibangun patung Dewi Aelia, berhala kaum pagan Romawi. Di Bukit Golgotha didirikan Kuil Aphrodite dan Kuil Jupiter. Kota itu lalu dinamakan Aelia Capitolina.
Hancurnya Kuil Kedua juga dianggap sebagai bukti kebenaran ajaran baru yang dibawa Yesus atas kepercayaan orang Yahudi. Perlahan-lahan agama Kristen mulai berkembang dan mendapat basis kuat di Kekaisaran Byzantin yang mengambil alih kekuasaan Romawi atas Jerusalam. Pada abad ketiga, Kristen menjadi agama dengan jumlah penganut terbanyak di sana. Jerusalem menjadi penting bagi Kristen karena seluruh peristiwa yang berkaitan dengan kelahiran agama ini berlangsung di kota itu.
Tindakan pertama yang menunjukkan status ini adalah penggalian tanah di bawah Kuil Aphrodite, yang diduga bertepatan dengan lokasi makam Yesus. Aktivitas yang dikenal sebagai arkeologi biblikal pertama ini dipimpin oleh Makarios, uskup Aelia, dan Constantine, Kaisar Byzantin pada abad keempat. Setelah dua tahun melakukan penggalian, pada 327 M mereka menemukan sebuah makam batu yang segera dinyatakan sebagai bekas kuburan Yesus. Pada saat yang sama, para pekerja juga menemukan bukit cadas kecil Golgotha, tempat penyaliban Yesus.
Selain penggalian, pendirian bangunan untuk pemujaan juga dimulai. Constantine mendirikan sebuah basilika yang indah luar biasa, beberapa meter di timur Golgotha. Bangunan ini dikenal dengan nama Martyrium, saksi bagi seorang martir (Yesus). Dengan ditemukannya makam dan berdirinya basilika, Kristen segera mengembangkan mitos mereka sendiri tentang tempat itu. Tempat suci Kristen ini -- dinamai Kompleks Anastasis -- mengilhami kepercayaan dan legenda yang sama seperti Kuil Yahudi: ia menjadi pusat simbolik di mana kekuatan ilahi bersentuhan dengan dunia manusia.
Dua gereja besar lainnya adalah Gereja Kelahiran (Nativity) di Betlehem dan Gereja Eleona di Bukit Zion. Keduanya didirikan oleh Helena Agusta, ibu Kaisar Constantine, dalam ziarahnya ke Jerusalem pada 326. Aelia berubah menjadi kota dengan ciri Kristen yang kuat. Pusat suci kota itupun bergeser, dari Bukit Zion ke Bukit Golgotha, yang disebut Jerusalem Baru.
Sebelum penggalian di Golgotha, tak pernah ada orang yang berziarah ke Jerusalem, tetapi setelah penemuan makam para peziarah berdatangan dari seluruh pelosok. Jerusalem menjadi pusat peribadatan umat Kristen. Berkembanglah liturgi Jerusalem dengan mitos-mitos yang kini menyelimuti objek-objek baru di Golgotha dan Betlehem. Pada 390 kota itu penuh dengan pendeta dan biarawati serta para pengunjung yang berduyun-duyun berziarah ke Kota Suci Jerusalem.
Tapi, menguatnya Kristen di Jerusalem ditandai dengan meningkatnya kebencian pada orang Yahudi. Kekalahan orang Yahudi dipandang sebagai bukti kebenaran Kristen. Posisi Yahudi semakin jelek di bawah pemerintahan Kristen Jerusalem, tapi mereka tak pernah benar-benar melupakan cita-cita membangun kembali Kuil Sulayman. Setiap kali ada kesempatan untuk itu, mereka segera merebutnya meski harus berhadapan dengan risiko besar.
Kesempatan itu datang ketika Persia mulai menyerang wilayah kekuasaan Byzantin. Musim semi 614, Jenderal Persia Shahrbaraz menginvasi Jerusalem. Kaum Yahudi memberi dukungan. Tentara Persia secara sistematis menghancurkan seluruh gereja dan tempat suci Kristen, termasuk Martyrium dan Gereja Eleona.
Lebih dari enam puluh ribu orang terbunuh. Sisanya dibuang ke pengasingan. Nasib mereka kini hampir tak berbeda dengan kaum Yahudi yang dulu mereka taklukkan. Mereka pun mengenang Jerusalem persis cara Yahudi mengenang kota itu: Tuhan dan Zion disebut dalam satu nafas.
Ketika meninggalkan Jerusalem, Persia memberi mandat penguasaan kota kepada Yahudi. Muncul harapan akan datangnya seorang Messiah. Tapi ini tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian Persia kembali untuk mengambil alih. Padamlah harapan kembalinya Jerusalem ke pangkuan bangsa Yahudi.
Pada 622, terjadi kesepakatan damai antara Persia dan Byzantin. Di bawah pimpinan Heraklius, Martyrium direstorasi. Jerusalem kembali menjadi kota suci Kristen. Tapi Heraklius ceroboh dalam kebijakannya terhadap Yahudi. Pada 634, dia memaksa seluruh Yahudi untuk dibaptis.
Tindakan ini membuatnya kehilangan dukungan Yahudi. Akibatnya, empat tahun kemudian, ketika Heraklius harus berhadapan dengan serangan tetangga dari sebelah selatan, kaum Yahudi justru berpihak pada musuh. Saat itulah kaum Muslim datang menaklukkan Jerusalem, membawanya ke "era kesucian" baru.
Link ke bagian (1) (2) (4)
Edisi Indonesia dapat dipesan di sini
Komentar
Posting Komentar