Jerusalem: Penaklukan Damai di Al-Quds (4)



Kota Yerusalem. Photo credit: SeanPavonePhoto/CanvaPro


Artikel ini merupakan nukilan dari buku Jerusalem: One City, Three Faiths (Karen Armstrong, 1997). Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan, dapat dipesan di sini.


Berbeda dengan penaklukan sebelumnya, Islam datang ke Jerusalem (638) dengan damai. Setelah tentara berhasil masuk kota, tak ada penghancuran bangunan, tak ada penyitaan, tak ada pembakaran simbol-simbol agama musuh, tak ada pembantaian. 

Umar disambut oleh uskup Jerusalem, Sorophonius, dan diantar untuk melihat tempat-tempat suci di kota itu. Umar masuk ke Kompleks Anastasis. Ketika masih berada di sana, waktu shalat tiba. Sophorohius menyarankan Umar shalat di Anastasis. Umar menolak, khawatir itu dijadikan alasan kaum Muslim untuk mengambil tempat itu.

Ketika tiba di bekas kedudukan Kuil Sulayman (Haram al-Syarif),  Umar mendapati lokasi itu telah dijadikan tempat pembuangan sampah kota, sebagai ekspresi kebencian penduduk Kristen Jerusalem pada Yahudi. Umar berinisiatif membersihkannya dan kemudian memilih tempat di ujung selatan plaza untuk mendirikan sebuah masjid sederhana.

Di zaman dinasti Umayyah, Jerusalem mendapat perhatian besar. Jerusalem saat itu penuh dengan gereja-gereja besar. Khalifah Abd al-Malik (685-705) ingin mendirikan monumen yang dapat menandingi bangunan-bangunan megah Kristen yang sudah ada, terutama kubah Anastasis. Pada 688, Abd al-Malik mendirikan Kubah Batu di atas karang yang kemudian diyakini sebagai tempat kenaikan Nabi Muhammad dalam perjalan Isra' Mi'raj.

Pada 709, penerus Abd al-Malik, Khalifah al-Walid I memperbaiki masjid yang didirikan Umar dan mempertinggi dinding penyangga plaza yang dibuat Herod. Gempa bumi pada 747 dan 771 menghancurkan masjid al-Walid I. Khalifah al-Mahdi (775-85) mendirikan kembali masjid itu dan memperluasnya. 

Al-Mahdi menamakan masjid itu Masjid al-Aqsha, dan sejak itu dikaitkan dengan perjalanan Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad. Dengan berdirinya kedua bangunan ini -- Kubah Batu dan Masjid Al-Aqsha -- kaum Muslim memulai mitosnya sendiri tentang kesucian Jerusalem. Pada 832, Al-Ma'mun menyarankan sebutan "Al-Quds" (Kota Suci) untuk Jerusalem.

Setelah penaklukan oleh Islam, Jerusalem tetap menjadi kota dengan mayoritas penduduk Kristen. Pemerintahan Muslim pada mulanya berhasil menciptakan sistem yang memungkinkan Yahudi, Kristen dan Muslim hidup berdampingan. Tapi di masa dinasti Abbasiyah, kerukunan itu mulai goyah. Komunitas Kristen mulai giat menggunakan simbol-simbol keagamaannya untuk mengusik komunitas Muslim yang minoritas di Jerusalem.

Kegiatan pembangunan kini dijadikan senjata untuk menunjukkan kebencian satu komunitas terhadap komunitas lain. Kristen memperbesar kubah Anastasis, mendirikan gereja di Lembah Kidron. Pada 1009, khalifah al-Hakim memerintahkan pembongkaran seluruh Kompleks Anastasis di Bukit Golgotha. Hubungan Islam-Kristen memburuk.
Serangan Pasukan Perang Salib adalah puncaknya. Pasukan Salib Eropa datang dengan niat membebaskan kota suci mereka dari Islam. Mereka masuk Jerusalem pada 15 Juli 1099 setelah mengepung kota selama 14 hari. Penyerangan Pasukan Salib sangat sadis untuk digambarkan. Dalam tiga hari mereka berhasil menguasai kota, membantai hampir seluruh penduduknya. Darah menggenang di Jerusalem.

Delapan puluh delapan tahun Pasukan Salib berkuasa di Jerusalem. Mereka memasang salib di atas Kubah Karang, menjadikan Masjid al-Aqsha tempat tinggal para tentara Kristus. Mereka juga melakukan program pembangunan besar-besaran. Sekali lagi Jerusalem menjadi kota Kristen melalui penindasan komunitas lain.

Kaum Muslim merebut kembali Jerusalem pada 2 Oktober 1187. Ketika Khalifah Ayyubiah Shalah al-Din memasuki kota, seperti Umar, dia memperingatkan pasukan agar tidak mengusik bangunan milik kaum Kristen, tidak membunuh, tidak menyita, tidak memaksa mereka untuk masuk Islam. 

Di bawah Shalah al-Din, komunitas Muslim tidak menjadi minoritas lagi. Jerusalem benar-benar menjadi kota Muslim. Beberapa gereja berubah fungsi menjadi masjid. Shalah al-Din juga mendirikan banyak madrasah. 

Dia juga mengundang Yahudi untuk tinggal di Jerusalem. Dengan berkuasanya dinasti Ayyubiah dan Mamluk, pusat kota kembali ke area Haram al-Syarif, setelah pernah bergeser ke Golgotha di masa pemerintahan Constantine.

Pada 1517, kekuasaan berpindah ke tangan dinasti Utsmaniyyah. Nasib Jerusalem berubah dramatis di bawah khalifah Sulayman (1520-66). Utsmaniyyah memiliki hubungan baik dengan komunitas Yahudi di pengasingan. Sulayman mendorong komunitas Yahudi untuk menetap di Jerusalem.




Link ke bagian (1) (2) (3)
Edisi Indonesia dapat dipesan di sini

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"