Jerusalem: Geografi Sakral (1)

Kubah Batu di kota tua Jerusalem. Photo credit: BargotiPhotography/CanvaPro

Artikel ini merupakan nukilan dari buku Jerusalem: One City, Three Faiths (Karen Armstrong, 1997). Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Mizan, dapat dipesan di sini.


Tak ada tempat lain di muka bumi ini di mana masa lalu menjadi bagian yang begitu lekat dengan masa kini seperti di Jerusalem. Mungkin memang demikianlah keadaannya di setiap tempat yang sedang bersengketa, tetapi kesan ini sangat menyentakkan saya ketika pertama kali datang ke sana pada 1983.

Aneh rasanya menemukan diri berada di tempat yang selalu muncul dalam imajinasi kita sejak masih kecil. Dulu saya sering diceritakan tentang kisah Nabi Daud dan Isa, dan, ketika menjadi seorang biarawati, saya dilatih untuk memulai meditasi pagi hari dengan membayangkan adegan biblikal yang akan saya renungkan. Maka saya pun mereka-reka sendiri pemandangan di Taman Getsemani, Bukit Moriah, atau Via Dolorosa.

Kini, ketika saya harus menjalankan tugas di sana, saya mendapati ternyata kota itu lebih merupakan sebuah tempat yang penuh gejolak dan membingungkan. Pertama-tama, saya harus menerima kenyataan bahwa Jerusalem jelas-jelas sangat penting baik bagi orang Yahudi maupun Muslim. 

Ketika melihat tentara Israel yang garang menangis saat mencium Tembok Barat atau keluarga Muslim berbondong-bondong untuk melaksanakan shalat Jumat di Haram al-Syarif, untuk pertama kalinya saya menjadi sadar akan tantangan pluralisme agama. Betapa orang dapat melihat simbol yang sama dengan cara yang sama sekali berbeda.


Pada pagi pertama saya di Jerusalem, teman Israel saya segera menunjukkan cara mengetahui mana batu-batu yang digunakan oleh Raja Herod untuk membangun tembok Kota Lama. Batu-batu itu seakan menjadi bukti komitmen bangsa Yahudi pada Jerusalem berabad-abad sebelum Islam hadir. 

Pun ketika kami melewati bangunan-bangunan di Kota Lama, saya diceritakan betapa Jerusalem telah ditelantarkan oleh Utsmaniyyah ketika dinasti itu berkuasa di sana, dan kota itu baru kembali hidup berkat investasi Yahudi -- lihatlah kincir angin yang dibangun oleh Sir Moses Montefiore dan rumah sakit-rumah sakit yang dibiayai oleh keluarga Rothschild. Berkat Yahudilah Jerusalem menjadi maju seperti sekarang, katanya.

Teman Palestina saya menunjukkan wajah Jerusalem yang lain sama sekali. Mereka memperlihatkan keagungan Haram al-Syarif dan keindahan madrasah-madrasah yang dibangun di sekitar pinggirannya oleh dinasti Mamluk, sebagai bukti komitmen Muslim pada Jerusalem. 

Mereka membawa saya ke tempat suci Nabi dekat Jericho, yang dibangun untuk mempertahankan Jerusalem dari serangan Kristen, serta istana-istana Umayyah di dekat situ. Ketika berjalan-jalan di Bethlehem suatu sore, dia menghentikan mobil di pemakaman Rachel untuk menunjukkan betapa orang Palestina telah memelihara tempat-tempat suci Yahudi selama berabad-abad -- suatu kebaikan yang tak pernah dihargai secara layak oleh Yahudi.



Namun bagi kedua pihak yang berseteru itu, ada satu kata yang sama bagi Jerusalem: "suci". Bahkan orang Israel maupun Palestina yang paling sekular sekalipun menyebut kota itu suci. Tapi, apakah arti kata "suci" di sini? Bagaimana mungkin sebuah kota, yang penuh dengan manusia yang tak sempurna dan sibuk dengan aktivitas yang jauh dari suci, bisa disebut suci? Mengapa orang-orang Yahudi yang mengaku ateis militan pun peduli pada sebuah kota suci dan merasa begitu posesif terhadap Tembok Barat? Mengapa seorang Arab yang mengaku tak beriman pun bisa meneteskan air mata ketika untuk pertama kali berdiri di dalam Masjid al-Aqsa?

Saya bisa mengerti mengapa kota itu dianggap suci oleh orang Kristen. Jerusalem adalah tempat kematian dan kebangkitan Yesus: kota inilah yang menjadi saksi kelahiran agama mereka. Tetapi peristiwa-peristiwa formatif bagi Yahudi dan Islam terjadi di tempat-tempat yang jauh dari Jerusalem, di Tanjung Sinai dan Jazirah Arab. Mengapa, misalnya, Bukit Zion di Jerusalem yang menjadi suci bagi Yahudi, bukannya Bukit Sinai, tempat Tuhan memberikan Sepuluh Perintah pada Musa?

Ternyata saya keliru telah mengasumsikan kesucian sebuah kota tergantung pada keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa penyelamatan sejarah, kisah mitos tentang campur tangan Tuhan dalam urusan manusia. Ternyata kata "suci" telah dilekatkan secara bebas dalam hubungannya dengan Jerusalem, seakan maknanya telah jelas dengan sendirinya -- sementara kenyataannya sangatlah kompleks.

Kota suci atau tempat suci merupakan fenomena yang nyaris universal. Untuk menemukan makna dalam beragama, manusia ternyata membutuhkan geografi sakral, yang tak ada hubungannya dengan peta dunia, tetapi untuk memetakan kehidupan batin mereka. 

Dan Jerusalem -- untuk alasan-alasan yang berbeda -- telah menjadi pusat geografi sakral bagi kaum Yahudi, Kristen dan Islam. Inilah yang menyulitkan ketiga agama itu untuk melihat kota suci ini secara objektif. Dan inilah yang telah membuatnya bergolak, tak henti-hentinya sepanjang abad.



Bersambung ke bagian (2) (3) (4)
Edisi Indonesia dapat dipesan di sini

Komentar

  1. Kini makin sulit untuk melihat apa yang perlu diperjuangkan di tanah bangsa palestina ini, kedua pihak menyebut perjuangan mereka dapat dibenarkan karena untuk "membela diri"...

    BalasHapus

Posting Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"