Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan



Agustinus WIbowo 

Senang rasanya menamatkan Titik Nol. Buku ini pertama mulai saya buka pada Agustus dan baru selesai dibaca Desember 2013. Mengapa begitu lama untuk bacaan selezat ini? Saya suka berlambat-lambat untuk membaca buku Agustinus Wibowo. 

Dua buku sebelumnya dari pengarang yang sama, Selimut Debu dan Garis Batas, juga baru habis saya baca dalam tempo lebih dari tiga bulan. Rasanya enggan berpisah cepat-cepat dengan kisah yang dituliskannya. Saya suka baca ulang bagian-bagian tertentu, sebelum melanjutkan ke bagian lain. Saya menikmati setiap kalimat yang dituliskannya, setiap paragraf yang membentuk bangunan ceritanya.

Agustinus seorang penulis sangat apik. Dia peka terhadap psikologi pembaca. Saya tak bertemu rasa bosan di sepanjang buku setebal lebih dari 500-an halaman ini. Dia sering menggunakan kalimat bersajak, perumpamaan yang kreatif, deskripsi yang penuh warna. 

Bukan hanya pengalamannya yang luar biasa, cara dia menceritakannya pun istimewa. Penggalan pengalaman dirangkainya jadi bagian-bagian terpisah yang sulit untuk dikategorikan namun tetap nyambung. Tidak begitu saja kita bisa membayangkan urutan waktu perjalanannya, karena kisah-kisah ini tidak ditulis secara kronologis murni.



Seperti seorang yang duduk berbincang dengan kita, dia bisa melompat ke potongan pengalaman yang tiba-tiba teringat, diletakkan dalam bingkai cerita lain, tapi ketika kita selesai membacanya, kita bisa menyusun ulang peristiwa itu dalam bingkai waktu yang tepat. Tapi tak penting lagi kronologis itu, nikmati saja seluruh kisah perjalanannya. 

Usai membacanya kita seperti sudah kenal betul dengan ulah dan adat masyarakat Pakistan, Afghanistan, Azerbaijan, Kazahsktan. Kita tahu pemandangan apa yang akan ditemui di sudut kota Kashmir, siapa yang duduk menunggu di sisi Afghanistan dari sungai Amu Darya.

Untuk buku Titik Nol, selang-seling kisah perjalanannya dengan cerita perjuangan ibundanya melawan kanker hingga titik nol kematian, membuat buku ini terasa lebih menarik lagi. 

Tak ada kritik? Ya, tampaknya pujian saja yang bisa saya lontarkan untuk ketiga buku Agustinus Wibowo. Bagi saya, ini sebuah karya yang fenomenal.

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"