Mata Orang Roma, Hati Orang Indonesia (1)

Wawancara dengan Stefano Romano, Penulis Buku-Foto “Kampungku Indonesia”

Mungkinkah seseorang merasakan suatu negeri sebagai kampung halamannya, padahal dia bukan berasal dari sana? Bagi Stefano Romano, seorang fotografer asal Italia, jawabannya adalah “ya” jika negeri itu adalah Indonesia. Demikian bunyi kalimat pertama pada bab pertama buku fotonya yang akan segera terbit dari Penerbit Mizan, berjudul Kampungku Indonesia.

Stefano mulai bekerja sebagai fotografer sejak 2009. Berawal dengan memotret komunitas orang Bangladesh yang tinggal di Roma, kemudian meluas ke berbagai komunitas negara Asia lainnya. Hampir seluruh komunitas yang diakrabinya dicirikan oleh satu hal yang sama, yakni mereka adalah negara-negara bermayoritas penduduk Muslim. Bergaul dengan mereka memicu rasa ingin tahu Stefano mengenai Islam.





Ketertarikannya secara khusus terpicu oleh pengamatannya sebagai fotografer pada saat memotret wanita berhijab. Menurut Stefano, wajah wanita berhijab memancarkan cahaya khusus yang unik, dan dia menginginkan cahaya itu untuk dirinya sendiri. Setelah mempelajari Islam selama kurang lebih dua tahun, Stefano memutuskan untuk menjadi muslim pada 2010, kemudian menikah dengan seorang muslimah asal Indonesia. Oleh karena itulah dalam artikel-artikel mengenai Stefano, dia sering disebut sebagai “fotografer yang menemukan Islam lewat lensa kamera”.

Dalam kesempatan ini, kami berbincang dengan Stefano mengenai pekerjaan dan pengalamannya sebagai fotografer serta pandangan dan harapannya dengan penerbitan buku-fotonya yang pertama di Indonesia.



Apa pengalaman paling menarik yang pernah Anda alami selama bekerja memotret komunitas migran di Roma?
Setiap komunitas memiliki sisi menariknya masing-masing. Saya mengawali dengan komunitas Bangladesh pada 2009. Kini saya mengkuti hampir seluruh komunitas Asia dan Timur Tengah serta Amerika Selatan di Roma. Saya bisa bicara berjam-jam tentang peristiwa menarik atau kisah-kisah yang terjadi selama masa yang panjang ini, bahkan saya mengajar mengenai itu.
Saya tertarik pada iman, saya ingin melihat bagaimana budaya yang berbeda merasakan iman dan bagaimana kaum beriman berdoa, seperti dalam buku-foto Monika Bullaj yang indah “Genti di Dio” (Manusia-Manusia Tuhan). Saya selalu berkata kepada murid-murid saya bahwa menjadi fotografer itu tidak membuat kita kaya dalam harta. Kekayaan yang datang kepada kita melalui perkenalan dengan banyak orang dan berbagai tradisi itu tidak ternilai harganya.
Pengalaman paling menarik yang pernah saya alami dalam memotret komunitas migran adalah ketika belum lama ini saya sangat tersentuh melihat bagaimana orang Thailand sangat dicintai dan mencintai Raja mereka. Waktu itu saya memotret acara besar bertajuk “King of Hearts” untuk merayakan ulang tahun Raja Thailand. Dan, ketika layar di hadapan ratusan orang mulai memperlihatkan kehidupan dan pengabdian sang Raja, saya melihat semua orang mulai menangis. Ini sungguh sangat menyentuh.
Saya juga menyukai semua acara yang tidak mudah ditemukan di Roma, seperti acara perkawinan tradisional, upacara pemakaman, dan semacamnya. Acara-acara yang tertutup hanya untuk para orangtua, namun saya cukup beruntung dapat menghadirinya karena mereka mengenal saya dan merasa saya sebagai bagian dari mereka


(c)Stefano Romano
King of Hearts, Thailand, 2015.(c)Stefano Romano


Bagaimana Anda pertama kali bisa masuk ke dalam sebuah komunitas migran yang baru?

Bergantung pada sedekat apa hubungan saya dengan budaya itu. Biasanya saya mencari informasi terlebih dahulu, mempelajari budaya mereka, tapi tak ada yang lebih baik daripada berbicara dan melihat langsung orang-orang tersebut dan komunitasnya. Karena Anda bisa belajar tentang ritual atau sejarah sebuah negara, tapi kemudian komunitas tersebut melakukan adaptasi terhadap tempat mereka kini tinggal.

Ini bagi saya adalah salah satu hal penting dan merupakan sumber inspirasi: bagaimana tradisi dan adaptasi menjadi bercampur. Seperti ketika di Bantul, Yogyakarta, saya mengunjung gereja Ganjuran: ada percampuran menarik antara tradisi Hindu kuno dengan pengaruh Kristen.

Nah, beberapa komunitas orang asing di Roma juga melakukan hal yang sama, meluberkan tradisi mereka, menyimpan baik-baik spiritnya dan menyesuaikannya dengan negeri yang baru, sebuah tantangan yang tak pernah habisnya. Dan ini tidak pernah tertulis di dalam buku: Anda harus melihat langsung dan merasakannya meresap pada kulit Anda. Kamera hanyalah bagian terakhir dari semua ini. Anda tidak bisa mengambil foto yang baik tentang komunitas migran jika tidak mengalami ini.



Anda mengatakan bahwa fotografi adalah jalan pribadi Anda untuk melawan prasangka. Bagaimana hal itu dilakukan dan prasangka apa yang lazimnya Anda temuan di antara komunitas-komunitas asing?

Ini pertanyaan bagus, karena prasangka bukan hanya dari orang Italia ke orang asing, tetapi juga di antara komunitas-komunitas orang asing itu sendiri. Dan saya pikir ini lebih parah daripada prasangka yang berasal dari orang Itali. Kita sudah tahu bahwa di antara warga Italia ada sebagian rasis, karena kepentingan politik atau hanya karena ketidaktahuan.

Tapi ketika saya merasakan prasangka dari sebuah komunitas ke komunitas lain, saya sungguh jengkel: siapa yang bisa mengatakan dialah yang terbaik, atau lebih baik? Semua orang datang dari luar untuk bekerja keras, bersusah payah, mencari uang untuk dikirim demi memperbaiki kehidupan keluarga di kampung halaman, lalu mengapa harus saling bermusuhan?

Sesungguhnya masalah prasangka bukanlah masalah khusus suatu negara atau suatu ras, tetapi berakar dari ketidaktahuan dan dari individu-individu. Jadi tugas kita haruslah senantiasa melawan sebuah prasangka, dalam cara apa pun, melalui foto, artikel, ceramah, seminar, belaian. Apa pun yang membuat dunia kita lebih baik.

Di Italia, prasangka terbesar adalah terhadap orang Islam dan orang Romania, atau orang gipsy. Saya sendiri pun ketika baru memulai fotografi, memiliki prasangka yang sama. Kita harus bersikap keras terhadap diri sendiri, karena jika kita punya prasangka maka hal itu akan terlihat memancar di dalam foto-foto kita.

Saya menjadi muslim justru karena saya ingin belajar meruntuhkan prasangka itu, dan salah satu prasangka terbesar adalah tentang hijab. Hampir semua orang di Italia berpikiran bahwa muslimah mengenakan hijab karena dipaksa oleh suami atau keluarga. Tetapi ketika saya mulai mengambil potret muslimah di Roma, saya bertanya apa makna dan alasan mengenakannya, dan saya mendapati kebenaran yang berbeda sama sekali.


(c)  Stefano Romano


Lalu saya tanpa tertahankan memotret sebanyak-banyaknya wanita muslim di Italia, hanya untuk memperlihatkan betapa prasangka itu tidak benar sama sekali. Seorang wanita mengenakannya atas kemauan sendiri sebagai pertanda keimanan, sebagai pelindung, dan juga sebagai keindahan. Penelitian ini membuat saya dekat dengan komunitas Indonesia di Roma, bertemu istri saya dan menjadi mualaf setelah belajar selama dua tahun.

Sekarang saya berkolaborasi dengan Islamic Cultural Center di Masjid Agung Roma, karena mereka mempercayai jalan dan visi saya. Sebagai jurnalis, saya menceritakan tentang peristiwa dan ritual Islam untuk mencoba melawan prasangka ini: namun setelah peristiwa di Brussel dan Paris, kita melangkah mundur sepuluh tahun ke belakang; kini semua kembali menjadi sulit untuk kaum muslim di Italia.

Tentang orang Romania, mereka adalah komunitas miskin di Italia, sehingga kadang-kadang ada yang menjadi penjahat dan maling. Banyak orang membenci mereka, sehingga satu-satunya cara untuk mendapatkan kisah tentang mereka adalah dengan menunjukkan bahwa tidak semua orang gipsy itu buruk. Lagi-lagi ini adalah soal hati, bukan soal kulit.

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"