Kampungku Indonesia: Dari Buku ke Gerakan Sosial
Penggusuran kerap menjadi jalan pintas yang terpaksa diambil
pemerintah dalam penataan pembangunan kota. Menurut catatan LBH Jakarta, selama
tahun 2015 Pemerintah Provinsi Jakarta telah melakukan 113 kali penggusuran dan
ada 325 titik dalam rencana penggusuran di tahun berikutnya. Bersama
penggusuran-penggusuran itu, satu per satu kampung lama lenyap. Satu per satu
memori tentang kehidupan kampung tenggelam menjadi masa lalu.
Stefano Romano, merasa betah berada di tengah orang-orang kampung yang dicintainya. Foto oleh Genta Gunadi |
Cemas melihat kecepatan laju lenyapnya kampung-kampung ini,
Stefano Romano, fotografer italia yang kepincut suasana kehidupan kampung-kampung
Indonesia, tergerak untuk mengabadikan memori tersebut. Dia ingin melakukan
bagi kampung-kampung Indonesia apa yang telah dilakukan oleh fotografer Sebastian
Salgado di Jakarta pada tahun 1996: merekam bagaimana gelombang baru orang kaya
kota menghapuskan keberadaan kampung-kampung.
Fotografi adalah testimoni, katanya. Dengan fotografi kita
mendorong orang-orang untuk melihat. Dia ingin kenangan tentang kehidupan di
kampung tetap hidup tak terlupakan, meski pembangunan terus meratakan
rumah-rumah di kampung dan menggantikannya dengan gedung-gedung apartemen yang
steril, dingin dan seragam. Stefano yang selalu rindu kehangatan kampung di
tengah metropolitan Jakarta tak ingin jika gerak laju pembangunan di kota-kota
besar Indonesia menghapuskan pemandangan kampung yang baginya merupakan ciri
khas Indonesia.
Spirit mengabadikan kehidupan kampung ini telah
ditunjukkannya melalui buku fotonya Kampungku
Indonesia yang terbit pada Juli 2016 lalu. Foto-foto dalam buku ini menaruh
perhatian utama pada dampak masifnya pembangunan terhadap kehidupan masyarakat
asli di kampung-kampung. Buku fotonya menampilkan gambaran bersahaja aktivitas
masyarakat terutama anak-anak dan perempuan.
Stefano ingin merekam pengaruh perubahan yang terjadi di kota-kota besar
terhadap kehidupan masyarakat kampung dan orang miskin.
Kampungku Indonesia karya Stefano Romano (Mizan, Juli 2016) |
Pada 23 September 2016, dalam diskusi peluncuran buku Kampungku Indonesia di Masjid Salman,
Stefano Romano melontarkan ide yang disebutnya “Big Biblioteca of Kampung”. Dia
ingin membangun koleksi besar foto-foto kampung dari seluruh Indonesia. Di
hadapan panelis wartawan senior “PR” Budhiana Kartawidjaja dan jurnalis foto
Harry Surjana, Stefano menyampaikan idenya untuk mengajak para fotografer dari
seluruh Indonesia mengirimkan foto dari kampung-kampung tempat mereka berada..
Kampungku Indonesia menampilkan koleksi
foto yang diambil Stefano dalam dua kunjungan terdahulunya di Indonesia pada peralihan
2010-2011 dan pada pertengahan 2014. Dia kembali mengunjungi negeri asal
istrinya ini pada pertengahan 2016 lalu. Dalam kunjungannya yang ketiga kali ini,
Stefano melakukan tur promosi bukunya ke Bandung, Surabaya, Madura, dan juga Kualalumpur
Malaysia.
Namun, persis pada hari kepulangannya ke Roma pada 28
September 2016, terjadi peristiwa penggusuran Kampung Bukit Duri sebagai bagian
dari program revitalisasi Sungai Ciliwung. Stefano ingin berada di sana untuk
memotretnya, tapi dia harus ke bandara untuk kembali ke negeri asalnya. Berhari-hari
setelah kembali berada di Roma, Stefano masih merasa seperti “tidak di sini,
tidak di sana.” Setengah hatinya masih di Indonesia.
Beruntung, teman-teman di Indonesia tergerak melaksanakan ide
yang telah dilontarkannya. Deni Arifianto dan Grace Anata mengambil inisiatif
menjadi co-founder bagi komunitas
fotografer yang dinamainya Laskar Kampungku pada 1 Oktober 2016 dengan
membentuk grup di Facebook.
Kini setelah berjalan empat bulan, grup ini perlahan
bertumbuh dan diikuti ratusan anggota dari berbagai wilayah Indonesia.
Foto-foto kehidupan kampung setiap hari diunggah dan ditampilkan di sana, mengobati rindu penggagasnya
pada suasana kampung, orang-orangnya, aktivitas dan kehangatannya.
Tapi, bukan hanya mengajak untuk memotret, Stefano juga
mengimbau para Laskar melakukan sesuatu untuk membantu kehidupan orang yang
dipotret. Sikapnya ini diilhami oleh fotografer terkenal Olivier Follmi, yang
mengingatkan agar seorang fotografer tidak hanya memotret lalu pergi, tetapi
harus berupaya sedapat mungkin memperbaiki kehidupan orang-orang yang mereka
potret.
Gerakan sosial ini telah dirintisnya melalui program donasi
“Bring Back the Smile” yang menyumbangkan hasil penjualan kartupos Kampungku Indonesia untuk mendukung program
pengobatan gigi bagi anak-anak yang tinggal di kampung-kampung kumuh di Plumpang, bekerja sama dengan Yayasan Kebun Anggur. Dukungan datang
dari pembaca bukunya bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Jerman
dan Italia.
Bring Back the Smile #1, Foto: Yayasan Kebun Anggur |
Dalam pesan yang dikirimnya ke grup pada 23 Januari 2017, Stefano menulis: “Saya begitu takjub dan bahagia melihat dari Roma begitu banyak foto bagus yang kalian kirimkan. Kalian benar-benar menangkap spirit awal didirikannya komunitas ini. Kalian membuat saya merasa berada di Indonesia dan beberapa teman berkomentar betapa senangnya melihat begitu banyak foto kampung yang bagus-bagus.
“Kita tumbuh perlahan-lahan tetap saya yakin Laskar
Kampungku akan menjadi realitas di Indonesia. Dan jangan pernah lupakan jiwa
dari Grup ini: Bukan hanya masalah foto tetapi juga harus memberikan bantuan nyata
kepada orang-orang yang tinggal di sana. Mereka telah membolehkan kita merekam
kehidupan mereka, maka kita harus selalu menghormati dan berupaya memberikan
sesuatu kembali kepada mereka, sekalipun hanya sebuah senyuman. Semangat!!”
Komentar
Posting Komentar