Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"

Through the Narrow Gate
biografi Karen Armstrong yang pertama

Para pemuka Katolik Roma di Inggris mungkin butuh waktu lama untuk bisa memaafkan Karen Armstrong. Tiga belas tahun setelah meninggalkan biara Holy Child Jesus, Karen yang kini terkenal sebagai komentator masalah-masalah agama di Eropa dan Amerika menulis dua otobiografi yang dengan sangat tajam mengkritik kehidupan religius di sana.

Kedua otobiogafi itu -- Through the Narrow Gate (1981) dan Beginning the World (1983) -- disebut-sebut sebagai catatan yang paling blak-blakan tentang kehidupan serba ketat di biara. Lewat kedua buku itu, mantan biarawati ini seperti menelanjangi sesuatu yang sudah lama disembunyikan di balik keengganan mengusik lembaga keagamaan yang sudah mapan.


Karen Armstrong sedang diwawancari oleh Desi Anwar
dalam kunnjungannya ke Indonesia, Juni 2014





Bukan itu saja, pada 1994, Karen membuat sebuah film dokumenter untuk televisi Inggris yang dikecam oleh otoritas Katolik karena isinya yang menyerang kepribadian Paus. Sebagian orang Katolik senior mempertanyakan motifnya, karena setelah keluar dari biara, Karen yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama mana pun menjalani karier sebagai penulis dan pembuat film dokumenter mengenai topik-topik yang berkaitan dengan agama, mistisisme dan peran perempuan dalam Kristen. Mereka curiga Karen ingin menjual masa lalunya untuk menegakkan kubu radikal dalam agama Katolik.

Dalam wawancara dengan koran The Daily Telegraph (6/7/96) Karen mengaku sadar bahwa dia telah membangkitkan kemarahan yang terus membara di dada orang-orang Katolik. Namun bagi dirinya secara pribadi, kedua otobiografi itu benar-benar mengandung perenungan yang positif tentang pengalaman beragama. "Jika Anda tidak boleh mengkritik John Paul II -- seseorang yang menurut standar normal sekalipun dapat dianggap sangat kontroversial -- maka Anda adalah orang yang kalah. Kalau saya mengkritik John Major, itu bukan berarti saya penuh kebencian pada Inggris. Tapi justru sebaliknya. Kritik bukanlah sebuah tindakan agresi," jelasnya.

* * *

Karen masuk biara Holy Child Jesus di Tripton, Inggris, pada 1962. Ketika itu dia masih berusia tujuh belas tahun. Pikiran tentang Tuhan dan kefanaan hidup di dunia telah mendorongnya untuk memilih menjadi biarawati. "Aku ingin menemukan Tuhan agar Dia dapat memenuhi seluruh hidupku, dan itu berarti menyerahkan kembali hidupku kepada-Nya. Aku menginginkan Dia dengan desakan hasrat yang begitu mencekam. Dan aku tahu bahwa mencari Tuhan tidak boleh setengah-setengah; upaya setengah hati akan sia-sia. Betapa akan sangat memuaskan pencarian itu nantinya. Jauh lebih memuaskan daripada mengejar kesenangan dunia, yang hanya akan membawa pada kekecewaan dan kematian... Aku ingin menjadi biarawati." Demikian dialog batin dalam diri Karen sebelum dia menyampaikan niat itu kepada orangtuanya.

Cita-cita Karen untuk menyerahkan seluruh hidup pada Tuhan diilhami oleh berbagai pengalaman masa kecilnya. Karen adalah seorang anak yang sangat imajinatif. Dia gampang larut dalam dunia khayal kanak-kanaknya. Setiap minggu sore, dia berjalan-jalan bersama ayahnya ke sebuah taman dan dengan bangga dia memperkenalkan ayahnya pada teman-teman imajinatifnya yang tinggal di pepohonan dan semak-semak taman itu. Buku juga menjadi tempat dia melarutkan diri. Tokoh-tokoh dalam cerita yang suka dibacakan ibunya menjelang tidur menjadi berwujud nyata baginya ketika bermain sendirian. Kecenderungan imajinatif yang amat kuat dalam diri Karen membuatnya menjadi seorang anak yang cepat matang.

Peristiwa kematian adiknya Caroline ketika Karen masih berusia kurang dari tiga tahun adalah yang pertama kali memunculkan gagasan tentang Tuhan dalam pikirannya. Dia dapat merasakan kemuraman yang memenuhi atmosfer rumahnya di masa itu, dan Karen menemukan caranya sendiri untuk menghadirkan ketentraman dalam hatinya.

"Aku mengosongkan pikiranku dari segala sesuatu. Kematian dan kesedihan pun lenyap. Aku pindah ke dalam atmosfer kesempurnaan tanpa batas," tulisnya, "dan pada akhirnya kusadari kesempurnaan tertinggi itu adalah Tuhan." Lama kelamaan kebiasaan menciptakan ruang kosong dalam pikiran ini menumbuhkan dalam dirinya rasa lapar akan sebuah ufuk tak bertepi yang kemudian diterjemahkannya sebagai kebutuhan beragama. Ketika tumbuh dewasa, dia menemukan dirinya terus mencari Tuhan untuk mendapatkan kembali kedamaian itu.






Menjadi biarawati hampir selalu merupakan pilihan yang sulit. Bagaimana orang lain bisa mengerti ada kebutuhan untuk menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan di tengah kemungkinan untuk meraih begitu banyak kenikmatan dunia. Tapi Karen harus menjelaskan ini kepada keluarganya.

"Aku ingin mengenal Tuhan dengan lebih baik," katanya. "Semakin banyak aku memikirkan Dia, semakin tidak penting tampaknya segala sesuatu selain Dia. Ketika aku pergi ke pesta-pesta, segalanya kelihatan begitu hampa, sia-sia. Orang-orang sibuk dengan penampilan mereka, dengan uang, dan seterusnya. Dunia tampak tak menarik bagiku."

Pada saat itu memilih menjadi biarawati berarti membangun tembok di sekeliling diri yang memisahkannya dari dunia. "Tuhan menghendaki komitmen tanpa kompromi," tulis Karen. Meski pada awalnya mendapat tentangan keras dari ayah dan ibunya, akhirnya Karen berhasil meyakinkan mereka bahwa keinginannya itu adalah kehendak Tuhan. Dan melawan kehendak Tuhan sama artinya dengan menghancurkan seluruh hidupnya. Memasukkan faktor Tuhan ke dalam argumen membuat kedua orangtua Karen menyerah untuk melepas anaknya.

Biara Holy Child Jesus tempat Karen bergabung adalah salah satu ordo yang dipelopori oleh St. Vincent de Paul. Biara itu didirikan pada 1840 dan, seperti biara-biara lain yang didirikan pada masa yang sama, mereka memberlakukan peraturan Jesuit secara ketat. Perbedaan ordo Vincent dari ordo lainnya adalah dalam hal derajat kebebasan yang diberikan pada para biarawati.

Pada awalnya kehidupan seorang biarawati terbatas sepenuhnya di dalam biara. Mereka tak pernah keluar, mereka mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah dan kontemplasi. Vincent ingin mereka boleh bepergian keluar biara, mengenakan pakaian biasa, dan terlibat dalam pekerjaan sosial membantu orang-orang miskin di sekitarnya. Mereka biasanya disebut "Sisters of Charity". Namun dalam pelaksanaannya ternyata ordo ini tidak banyak berbeda dari ordo-ordo lainnya.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di biara itu pada September 1962, Karen tak pernah menyadari bahwa dia termasuk angkatan terakhir yang akan dilatih menurut garis keras disiplin Victorian -- gaya hidup masyarakat kelas menengah Inggris di masa pemerintahan Ratu Victoria (1837-1901) yang merujuk pada sikap yang sangat terhormat, religius, dan sopan santun. Para biarawati mengenakan pakaian sederhana berwarna hitam dalam gaya Victorian. Demikian pula peraturan dan kebiasaan didasarkan pada perilaku yang dianggap pantas bagi wanita Victorian.

Hal pertama yang mengejutkan Karen dalam didikan biara Victorian ini adalah aturan tentang pergaulan sesama biarawati. Sejak awal mereka telah diberi tahu bahwa seorang biarawati tidak boleh membiarkan matanya memandang bebas ke lingkungan sekitar. Pandangan itu bisa memecah konsentrasi, mereka harus selalu dalam keadaan beribadat, menanti Tuhan.

Mereka juga tidak dibolehkan menjalin hubungan pribadi yang akrab antarsesama biarawati, karena cinta dan perhatian mereka sepantasnya hanya ditujukan untuk Tuhan. Hubungan persahabatan seperti itu akan membuat mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol yang tidak perlu, padahal mereka datang ke sana untuk memperdalam hubungan dengan Tuhan dan demi tujuan itu diamnya bibir dan hati adalah hal yang mutlak penting.

Kegiatan harian para biarawati didasarkan pada kitab Spiritual Exercises karya St. Igantius. Kepatuhan Ignatian menghendaki setiap biarawati muda tunduk secara mutlak pada biarawati senior karena mereka dianggap wakil Tuhan di biara. Akal sehat sering kali harus diberi tempat kedua dalam tindak kepatuhan ini. Para biarawati muda dilatih untuk "menundukkan" diri dan pikiran mereka.

"Dalam kehidupan religius," begitu mereka diingatkan, "kita tidak menolak aturan yang tidak sesuai dengan kehendak kita, kita tak pernah mengeluh, kita tak memiliki apa pun, segala sesuatu adalah milik bersama, kita tidak mementingkan keindahan fisik." Para postulan dan novisiat perlu diasingkan dari dunia agar dapat membangun hubungan pribadi yang mendalam dengan Tuhan.

Pikiran kritis Karen tak bisa menerima begitu saja semua aturan-aturan ini. Dalam benaknya tak henti-hentinya muncul berbagai pertanyaan yang terus mengusik hati. "Apakah jalan menuju kesempurnaan spiritual begitu rentannya sehingga sebuah hembusan kecil saja dari dunia dapat segera memusnahkannya? Apakah hubungan dengan Tuhan mensyaratkan tiadanya kedekatan dengan manusia, dan jika ya, akankah aku mampu mencapai derajat keterlepasan yang sedemikian jauh dari orang lain? Bukankah Yesus mengatakan kita dapat mencapai cinta Tuhan lewat cinta kepada
sesama?"

Tetapi Tuhan pula yang selalu menjadi sandaran dalam argumen untuk membantah setiap keberatan terhadap instruksi di biara. "Berlatihlah untuk menundukkan nafsu dan pikiranmu. Tuhan menghendaki penyerahan diri total. Segala kesulitan yang engkau rasakan adalah tanda ketidakmatangan spiritualmu. Jalan untuk menjadi kekasih Tuhan memang tidak pernah gampang," demikian jawaban yang diperoleh Karen terhadap kegelisahannya ini.

Tarik-menarik antara argumen akal dan hati terus berlanjut dalam diri Karen. Di satu pihak dia begitu terpesona akan apa yang dibayangkannya dapat dicapai seseorang yang berhasil menyatu dengan kehendak Tuhan, "kesempurnaan spiritual yang tak tergantikan oleh keindahan apa pun yang dapat ditawarkan dunia."

Tapi pikirannya tak mudah ditundukkan. "Berpikir itu refleks. Bagaimana Anda bisa patuh menjalankan suatu perintah sementara pada saat yang sama Anda merasa perintah itu tidak masuk akal," katanya. "Apakah untuk mencapai kedekatan pada Tuhan berarti harus meninggalkan akal sehat, mematikan pikiran, cinta, dan kekritisan?"

Sebenarnya, pada tahun yang sama dengan masuknya Karen ke biara, Paus John XXIII mengadakan pertemuan yang menghasilkan reformasi Konsili Vatikan II, dan beberapa minggu kemudian para uskup dari seluruh dunia bertemu di Roma untuk memulai pembaruan (aggiornamento) yang dicanangkan Paus John.

Namun baru beberapa tahun setelah pertemuan itu dewan uskup mengeluarkan dokumen yang isinya antara lain meminta agar biara-biara kembali kepada semangat awal yang dipelopori St. Vincent de Paul dan mencabut beban adat-istiadat Victorian yang tak perlu agar para biarawati dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia di sekitar mereka. "Gadis-gadis tahun 1960-an tak dapat dipaksa dalam disiplin kaku Victorian," kata mereka. Tapi perubahan itu tak sempat dirasakan Karen.

Tujuh tahun Karen bertahan di sana, dalam suasana yang dirasanya mengeringkan jiwa, mengerdilkan akal pikiran dan rasa kasih sayang. Tak mudah baginya untuk tiba pada keputusan untuk meninggalkan biara. Berulang kali dia menegaskan diri jalan inilah yang harus ditempuhnya untuk dapat mengenal Tuhan.

Dia masih sangat ingin untuk mencapai apa yang ingin diraihnya sejak kecil: hidup yang penuh arti dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Dia masih tetap yakin bahwa menjadi biarawati adalah jalan untuk meraih cita-cita itu. Dia bertanya-tanya apakah dirinya tidak termasuk satu dari sedikit orang terpilih yang dapat memasuki gerbang sempit menuju Tuhan. "Tapi tampaknya gerbang sempit itu hanya akan mengantarkanku ke kematian, bukan kehidupan," tulisnya. Akhirnya, tepat pada tanggal 27 Januari 1969, Karen pun mengakhiri kehidupannya sebagai biarawati.

Setelah keluar dari biara, Karen melanjutkan studi di jurusan sastra Inggris Universitas Oxford dan kemudian mengajar sastra Inggris abad ke-19 dan 20 di Bedford College, Universitas London, dan di sebuah sekolah khusus untuk perempuan selama enam tahun.

Menyesuaikan diri kembali ke dunia normal setelah tujuh tahun menjalani "pengasingan" bukan hal yang mudah bagi siapa pun. Karen harus menangani rasa kesepian yang mewarnai tahun-tahun awal "kepulangannya" ke dunia, dan -- yang paling menyulitkan -- dia harus pula menghadapi pertanyaan-pertanyaan orang tentang masa lalunya, yang menghidupkan kembali kenangan pahit yang tengah coba dia hapuskan.






Penulisan otobiografi hampir seperti garis pembatas yang membukakan gerbang baru bagi kehidupan Karen. Setelah terbitnya Through the Narrow Gate, Karen merasa sudah tidak akan berurusan lagi dengan masalah agama. "Aku merasa betul-betul skeptis terhadap agama. Agama telah membuatku luka dan lelah. Tapi aku masih terpesona pada agama sebagai sebuah fenomena, meskipun fenomena itu bukan sesuatu yang dapat aku percayai atau aku pegang untuk diriku sendiri," demikian pengakuannya.

Tetapi justru karena kepopuleran buku itulah pada tahun 1983 dia diundang untuk menulis dan membuat serial fim dokumenter mengenai Saint Paul untuk Televisi Saluran 4 Inggris. Sebagian besar pembuatan film itu dilakukan di Jerusalem. Di sanalah untuk pertama kalinya Karen mengenal agama Yahudi dan Islam, dan menyaksikannya sebagai agama yang dianut dan dijalankan oleh sekelompok masyarakat.

Setelah serial ini selesai, menyusul pula tugas-tugas lain yang seluruhnya berkaitan dengan tema-tema keagamaan. Mulailah dia membongkar dasar-dasar kitab suci, teologi dan sejarah gereja yang telah didapatnya di biara, tapi kali ini dia memandangnya dalam hubungan dengan perkembangan agama-agama lain.

Pertama-tama aktivitasnya di bidang agama masih berada pada tingkat intelektual semata. Tapi seiring dengan kajiannya yang makin mendalam, dia mulai menemukan kembali rasa pencarian yang dulu telah mendorongnya untuk menjadi biarawati dan membuatnya bertahan di sana selama tujuh tahun. Karier sebagai penulis dan pembuat film ternyata membawanya kembali ke dalam kehidupan religius dengan bentuk yang berbeda.

Perubahan besar yang dirasakan Karen pertama kali adalah konsepsinya tentang Tuhan. Kalangan mistikus, para sufi Islam dan rabbi Yahudi, yang ditemuinya selama melakukan penelitian tentang sejarah agama-agama memberinya pemahaman baru tentang Tuhan. Selama di biara dia diajarkan bahwa Tuhan adalah sebuah zat tertinggi dan mahasempurna yang harus dicapai dengan upaya keras menundukkan hawa nafsu dan pikiran tanpa kompromi. Tapi para sufi dan rabbi justru mengajarkan bahwa Tuhan itu bisa ditemukan dalam diri sendiri.

"Mereka meminta aku untuk tidak membayangkan bahwa Tuhan adalah sebuah realitas 'di luar sana'; mereka mengingatkan aku untuk tidak berharap akan mengalaminya sebagai sebuah kenyataan objektif yang dapat ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa. Seandainya aku telah mendengar hal ini tiga puluh tahun yang lalu, tentu aku tak perlu merasakan kecemasan luar biasa yang pernah kualami selama di biara," tulisnya dalam pengantar bukunya yang monumental A History of God (1993).

Karen Armstrong mempunyai kelebihan kemampuan mengkomunikasikan pengetahuan agama dengan bahasa populer. Lewat A History of God, yang pernah menduduki posisi sepuluh besar dalam daftar The New York Times Bestseller selama lebih dari sembilan minggu, dia menjadi wanita pertama yang menghasilkan karya dalam genre sejarah agama dan orang pertama yang menulis tentang sejarah keyakinan kepada Tuhan dalam nada non-akademis sehingga dapat beresonansi dengan pembaca awam.

Dalam kajiannya tentang agama-agama dunia dia juga menemukan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. "Homo sapiens adalah Homo religiosus," dan agama Yahudi, Kristen dan Islam sepanjang waktu telah memberikan respon-respon yang sama terhadap upaya pencarian manusia itu. "Agama adalah usaha manusia untuk mencari makna dan nilai dalam hidup, mengatasi derita yang menimpa tubuh kasatnya," ujar Karen. Oleh karena itu dia memandang bahwa agama-agama itu setara.

Ketika berada di Samarkand pada 1984 untuk membuat program televisi tentang Sufisme, Karen terkesan akan apresiasi dan toleransi para sufi terhadap agama-agama lain. Dalam buku Muhammad, A Western Attempt to Understand Islam (1991), Karen memperlihatkan apresiasinya yang simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad yang sering disalahpahami oleh Barat.

Pendapatnya tentang kesetaraan agama-agama mendapat benih pertama dari kunjungannya ke kota suci Jerusalem. Jerusalem mungkin adalah tempat yang paling berkesan baginya, selain sebagai objek ketertarikan secara akademis, kota ini juga telah melahirkan kebangkitan baru dalam keimanannya sendiri.

"Sebelum kunjungan saya ke sana pada 1983," katanya, "saya menganggap Yahudi tak lebih dari pendahulu Kristen, dan Islam bahkan sama sekali saya kesampingkan sebagai sebuah agama oriental semacam Budha atau Hindu. Tetapi dengan berada di Jerusalem, dan kemudian ketika saya mulai mempelajari sejarahnya, saya sadari betapa ketiga agama monoteistik itu sebenarnya saling terkait erat satu sama lain. Saya merasa betapa bodohnya jika dalam dunia yang secara global semakin menyusut ini mereka harus saling menutup diri dan menyalahkan."

Inilah yang mengilhaminya menulis buku Jerusalem, One City Three Faiths (1996). Di balik rincian tentang pertempuran dan pembantaian yang terjadi di kota itu, dalam buku ini dia berupaya mencari benang merah apa yang memotivasi orang-orang untuk menganggap kota itu suci.

"Geografi sakral," tulis Karen, "adalah kunci untuk memahami Yerusalem, tapi itu juga merupakan kunci untuk memahami cara kita menghubungkan diri dengan dunia. Itulah bentuk paling awal dari antusiasme beragama yang hingga kini masih belum benar-benar terhapus dari diri kita."

Karen kemudian bekerja sebagai dosen pada Leo Baeck College di London, pusat pelatihan bagi para rabbi dan guru-guru Yahudi dalam tradisi Reformasi. Dia juga menjadi anggota kehormatan Association of Muslim Social Scientist. Tampaknya semua agama -- kecuali Katolik -- ingin mengklaim Karen Armstrong sebagai bagian dari mereka, meskipun dia lebih senang menyebut dirinya seorang "monoteis freelance".

Ketika merenungkan kembali apa yang sudah dilewatinya, Karen bisa melihat bahwa seluruh idealismenya tentang "hidup untuk Tuhan" yang telah mendorongnya menjadi biarawati ketika muda sesungguhnya bercampur dengan keinginan melarikan diri dari dunia yang dirasanya tak mampu untuk dihadapi. Dan latar belakang Katoliknya membuat dia menanggapi ketakutan ini dengan idealisme kehidupan di biara.  Tapi dia mengakui tak ada sesuatu yang disesalinya dari pilihan-pilihan yang telah dibuatnya di masa lalu.

"Kehidupan religius itu menarik, tapi hanya sedikit yang mampu menjalaninya. Kesalahan saya adalah saya terlalu memberi nilai tinggi pada kehendak saya. Dalam biara saya menemukan bahwa kita adalah makhluk yang kompleks, gabungan pikiran, hati, jiwa dan tubuh yang tak henti-hentinya bertarung. Alangkah indahnya jika semua itu dapat dikendalikan oleh kekuatan berkehendak yang sangat kuat.... Kehidupan religius itu membutuhkan cinta, dan cinta itu penuh risiko. Mungkin saya tak cukup berani menanggung risiko itu," demikian renungan Karen di bagian akhir otobiografinya. []

Bandung, Agustus 1999. Pernah dimuat di majalah Kairos

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"