Shiba Ryotaro
JEPANG di masa Edo Tokugawa (1603-1867) bagaikan sebuah telaga di pegunungan, stabil dan menyendiri. Gejolak politik diredam melalui sistem kelas yang ketat, pengaruh asing dibendung dengan kebijakan menutup diri dari dunia luar.
Namun dua setengah abad yang tenteram ini akhirnya koyak oleh kedatangan empat kapal perang Amerika yang merapat di Teluk Tokyo pada 1853. Lewat kekuatan militernya, komandan Perry menuntut Jepang membuka pintu bagi Amerika. Dua dekade kemudian berakhirlah masa keshogunan yang telah berlangsung dua ratus tahun lebih itu.
Kedatangan Perry memicu sebuah transformasi besar. Orang-orang mulai mengkritik keshogunan Tokugawa, masyarakat yang anti pendatang asing berubah pikiran dan mulai berkata bahwa orang Jepang mesti mencoba hidup bersama mereka. Konflik kepentingan yang rumit pun merebak, membenturkan kelompok yang mendukung kebijakan terbuka dengan kelompok yang menghendaki pengusiran orang asing; dan kelompok yang mendukung kaisar dengan yang mendukung shogun. Pertempuran antarfaksi ini berujung dengan Restorasi Meiji yang mengembalikan autoritas politik ke tangan kaisar pada 1868.
Masa transisi yang bergejolak ini merupakan setting favorit karya-karya Shiba Ryotaro (1923-1996), seorang novelis sejarah yang sangat populer di Jepang hingga kini. Shiba tidak suka periode yang mengekang kebebasan, kestabilan yang dibayar dengan hilangnya individualitas. Karya-karyanya senantiasa menyoroti periode sejarah ketika tatanan sosial lama mulai goyah dan pencarian tatanan baru tengah berlangsung.
Dalam pandangannya, peluang individu lebih besar bukan di masa kestabilan semu tetapi di masa yang bergolak seperti Restorasi Meiji dan perang sipil (Sengoku, 1467-1568). Dalam banyak karya Shiba, orang-orang yang hidup pada periode itu dipotret dengan rincian yang hidup dan dinamis.
Simaklah kisahnya tentang Yamaguchi Yodo, penguasa wilayah (daimyo) Taso di tenggara Jepang. Selain piawai dalam seni militer dan cinta akan literatur, Yodo juga digambarkan sebagai seorang pemabuk yang hidupnya agak liar. Yodo menentang kebijakan buka-pintu shogun dan bersumpah setia pada kaisar di Kyoto, tapi dia tidak bisa mengkhianati klan Tokugawa. Untuk mendamaikan kontradiksi di dalam dirinya, dia mencoba menyekutukan kedua kekuatan ini. Upaya Yodo gagal, faksi anti-shogun berhasil mengalihkan kekuasaan sepenuhnya dari Tokugawa ke istana. Di hari-hari akhir keshogunan, Yodo memasuki era baru tanpa tempat berpijak yang kuat, tak terpakai di kalangan loyalis shogun maupun di lingkungan kekaisaran.
Cerita ini terdapat dalam Yotte Soro (Drunk as a Lord) yang terbit pertama kali pada 1965. Buku ini memuat empat cerpen tentang bagaimana para daimyo bereaksi terhadap perubahan zaman di tahun-tahun terakhir kekuasaan Shogun Tokugawa.
Orang yang belajar sejarah Jepang mengenal nama Yamaguchi Yodo, tahu tentang perbuatan dan pendapat yang disuarakannya, tetapi tidak mengenal pribadinya. Hanya sebuah nama dalam catatan sejarah. Shiba menghidupkan sosok itu, mengajak pembaca masuk ke dalam kehidupannya, dan memberi wawasan tentang motivasi di balik tindakan pelaku-pelaku sejarah.
Pandangan Shiba tentang sejarah tidak bersifat heroik. Sejarah bukan dibuat oleh para pahlawan dan jenius. Menurutnya, dalam kondisi apa pun setiap orang yang punya keberanian, semangat, dan harga diri dapat membuat sejarah. Shiba mendekati sejarah secara individual.
Inilah penjelasan bagi kepopuleran fiksi-fiksi historis yang ditulisnya. Begitu kena sentuhan pena Shiba, orang-orang yang ada di abad-abad lalu menjadi hidup dengan cemerlang dalam pikiran pembaca.
Sebagai seorang jurnalis yang beralih menjadi novelis, Shiba memperlakukan karakter dalam novelnya seperti seorang yang akan diajaknya bicara. Dia bukan hanya membaca sejumlah besar bahan, tetapi juga datang ke tempat-tempat yang dilewati oleh tokoh ceritanya, menghirup udara yang sama dan merasakan spirit mereka.
Sejak 1960-an hingga 1990-an, Shiba telah menghasilkan ratusan karya. Banyak di antaranya yang difilmkan atau dijadikan drama televisi. Dia juga menulis sejumlah catatan perjalanan dan esai serta kritik peradaban. Semua dicirikan oleh keluasan perspektif sejarahnya. Hingga saat ini tiga di antara karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: Kokyo Bojigataku Soro (The Heart Remembers Home) pada 1979, Saigo no Shogun (The Last Shogun) pada 1998, dan Yotte Soro yang disebutkan di atas, pada Juni 2001.[]
Tokyo, Juli 2002. Pernah dimuat di suplemen "Ruang Baca" Koran Tempo
Komentar
Posting Komentar