Bincang Buku-buku Karen Armstrong
Kita mengenal Karen Armstrong melalui buku-bukunya, yang paling terkenal di antaranya adalah Sejarah Tuhan (1993). Karen, yang pernah diundang ke Indonesia oleh Penerbit Mizan pada 2013, secara konsisten menulis buku-buku bertema sejarah agama, perbandingan agama, sering diminta menjadi komentator masalah-masalah agama dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam perkembangan politik internasional.
Harian Washington Post menyebut Karen sebagai "sejarawan agama terkemuka dan paling produktif menulis". Encyclopedia of Islam (Encyclopedia of World Religions) (2009), memasukkan Armstrong dalam kelompok sarjana terkini yang menyampaikan pandangan "kurang lebih objektif" tentang Islam dan asal-usulnya kepada publik luas di Eropa dan Amerika Utara. Setelah 11 September, dia sering diminta untuk memberikan kuliah dan menyerukan dialog antaragama.
Buku-buku Karen Armstrong menjadi topik perbincangan di acara Live IG @mizanpublishing pada Kamis, 16 April 2020, bersama saya dan Esti Ayu Budihabsari. Berikut petikannya.
1. Kapan
pertama kali mengenal karya Karen Armstrong?
Sekitar akhir
1999, saya diserahi kepercayaan untuk mengedit terjemahan A History of God yang dikerjakan oleh
Bapak Zaimul Am. Saat itu tahun ke-5 saya bekerja di Mizan, sudah sering mengedit buku nonfiksi wacana dari penulis lain, seperti
Edward Said, Seyyed Hussein Nasr, Ali Syariati, Osman Bakar, jadi sudah punya banyak pembanding tentang gaya penulisan
genre sejenis dari banyak pengarang.
Jadi, pertemuan pertama saya dengan buku Karen bukan sebagai “pembaca” semata, tapi pengedit hasil terjemahan. Artinya, saya harus paham betul setiap kalimatnya, memastikan bahwa kalimat itu sesuai atau sedekat mungkin dengan yang dimaksudkan pengarang sekaligus dapat dinikmati oleh pembaca bahasa sasaran. Dan itu membuat saya merasa sangat intens mengenal karyanya. Setelah A History of God edisi Indonesia terbit pada 2001, saya sedang berada di Tokyo dan sering main ke perpustakaan di sana yang punya koleksi lengkap. Saya meminjam dua buku autobiografi Karen Through the Narrow Gate dan Beginning the World. Kedua autobiografi ini mengantar saya lebih dekat ke dalam kisah hidup dan pribadi Karen. Dalam perjalanan waktu saya kemudian menerjemahkan tujuh buku Karen berikutnya yang diterbitkan Mizan.
2. Bagaimana kesan pertama membaca buku Karen?
Daya tarik luar biasa buku-buku Karen
adalah kemampuannya membahas topik yang berat dan luas dengan bahasa yang
ringan, tidak membuat kening berkerut. Dia menulis secara popular untuk tema
berdimensi raksasa seperti perkembangan sejarah pemahaman manusia tentang tuhan
dalam kurun waktu 4000 tahun. Dia bisa menyajikan itu dalam cara yang mudah
dimengerti oleh orang awam seperti saya.
Kekuatan Karen adalah dalam luasnya
pengetahuan dan referensinya. Dia mampu meramu hasil
pembacaannya menjadi cerita yang mengalir dengan sangat mengasyikkan. Dia akrab
dengan tradisi-tradisi kuno Konghucu, Taoisme, Hindu, Buddha, juga Yahudi,
Kristen, Islam sampai ke sekte-sekte terkecil berbagai aliran. Dia juga
mengenal baik kitab-kitab setiap tradisi itu, sejarahnya, juga kisah-kisah
mitos Yunani yang menjadi landasan pemikiran Barat. Tak jarang Karen menyelipkan
cuplikan cerita dari beragam sumber kitab, mitos dan tradisi. Semua ini membuat
uraiannya sangat kaya dan dalam.
Selain itu, Karen punya latar belakang
pendidikan sastra Inggris di Oxford, dalam tulisannya dia kerap mengutip puisi,
favoritnya adalah Tennyson dan T.S. Eliot. Dengan semua kelebihan itu, membaca
buku Karen rasanya seperti mengunyah sesuatu yang keras, tapi pelan-pelan
kulitnya selapis-selapis meleleh di dalam mulut dan kita dapat mencicipi manis
dan lezatnya dengan lembut.
3. Buku Karen
Armstrong yang paling berkesan?
Ada dua buku Karen yang paling saya sukai: Jerusalem dan Compassion. Keduanya bukan buku yang tergolong sangat scholarly yang membahas pelik pemikiran
filosofis agama, teologi atau kitab suci.
Bagian awal buku Jerusalem hampir terasa seperti sebuah buku
travelling, walaupun di tangan Karen tetap saja
berkelindan dengan sejarah agama, karena tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa
kota itu suci bagi ketiga agama monoteis.Buku ini dibuka dengan menceritakan
pengalamannya pertama kali ke kota itu pada 1983 sebagai seorang pembuat film
dokumenter, yang kemudian menginspirasinya menulis buku A History of God. Basis historis dalam
buku ini sangat kuat. Kita mengikuti secara kronologis bagaimana sejarahnya sehingga
kota ini dianggap suci mulai umat orang Yahudi, umat Kristan, kemudian umat
Islam.
Compassion, buku praktis
untuk menumbuhkan kesadaran welas asih, benar-benar
seperti sebuah manual. Karen
menjabarkan dua belas langkah untuk menjadi lebih empatik. Dimulai dari “welas
asih terhadap diri sendiri” hingga “mencintai musuhmu”. Dia meminta kita
membayangkan diri berada dalam lingkaran welas asih yang memiliki pusat
konsentris pada diri kita, diawali dengan berbelas kasih pada diri sendiri,
kemudian kita meluaskan lingkaran itu ke orang-orang terdekat, terus hingga
mencakup lingkungan sekitar kita dan alam semesta.
4. Waktu Karen berkunjung ke Indonesia tahun 2013, kalau tak salah mba Yuli
ikut menemaninya? Gimana rasanya? Kesan bertemu Karen Armstrong?
Ada sesuatu yang luar biasa ketika pertama
kali kita bertemu dengan seseorang yang sudah lama berada dalam kumpulan rasa
kagum kita. Saat bertemu Karen, saya merasa ingin menyerap setiap aura pintar
yang dipancarkannya. Berharap dapat ketularan pintarnya. Saya menyimak baik-baik
setiap perkataannya, menikmati uraian lisan dari apa yang sebelumnya terbaca di
dalam tulisan.
5. Menurut mba Yuli, apa kekuatan dari Karen Armstrong ini sehingga sampai
dijuluki sebagai sejarawan agama terkemuka di dunia oleh Washington Post?
Setelah peristiwa 11 September, buku-buku
Karen Armstrong banyak dicari dan menjadi best-seller di AS dan Eropa. Banyak
media menjadikannya narasumber, meminta komentarnya untuk berbagai kejadian
konflik politik global. Dia seperti berada di tengah pusaran isu terorisme,
islamophobia, konflik Israel-Palestina, dengan kapasitas sebagai seorang
pengamat. Tentu saja ini karena karyanya banyak membicarakan tema itu secara konsisten.
Selainitu,
Washington Post juga menyebutnya sebagai satu dari sedikit yang berpandangan objektif
tentang Islam. Di tengah gelombang islamophobia yang melanda Barat setelah 11
September dan berbagai serangan teroris yang diklaim ISIS, Karen Armstrong
gigih menyebarkan pandangan bahwa agama bukanlah sumber kekerasan. Islamophobia, menurut Karen, muncul karena kurangnya pemahaman Barat
tentang Islam. Orang berbicara tanpa ilmu dan informasi yang benar tentang
Islam, dan Karen memandang cara terbaik untuk menjelaskan Islam kepada Barat
adalah dengan memperkenalkan sosok Nabi Muhammad. Karena itulah dia menulis
buku Muhammad, The Prophet of Our Time (2006), pengembangan lebih lanjut
dari buku sebelumnya yang lebih tipis Muhammad, Biography of the Prophet (1991).
6. Buku paling
fenomenal yang ditulis Karen Armstrong adalah Sejarah Tuhan. Sejak terbit
pertama kali di 1993, buku ini terus dicetak ulang. Apa yang dikisahkan buku ini?
Buku ini melacak
perkembangan ide manusia tentang tuhan sejak dari awal pertumbuhannya di Timur
Tengah hingga di zaman modern. Karen mengawalinya dengan kultus Yahweh dalam
tradisi Yahudi. Terus melacak hubungannya dengan pencarian Tuhan oleh Abraham. Dan melacak sejarah penulisan Pentateuk, lima
kitab pertama dalam Perjanjian Lama oleh empat pengarang. Kemudian dia
menguraikan perkembangan konsepsi ketuhanan Kristen yang dikaitkan dengan
peristiwa kelahiran, kematian dan kebangkitkan kembali Yesus, hingga perkembangan
konsep Trinitas dalam tradisi Barat dan Timur. Bagian ketiga tentang ketuhanan
dalam Islam. Ada juga bagian yang membahas konsepsi ketuhanan dalam pendekatan
filosofis dan mistik. Menurut Karen,
gagasan manusia tentang Tuhan harus memiliki keluwesan untuk berubah dari
generasi ke generasi. Jika tidak, gagasan itu akan kehilangan makna, tidak
relevan. Karena itulah gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah. Ketika
sebuah gagasan kehilangan relevansi, dia akan ditinggalkan dan digantikan oleh
gagasan yang baru. Itulah yang terjadi dalam sejarah perkembangan ketiga agama
besar, yang dicoba dilacak secara komprehensif di dalam buku ini.
7. Buku yang
ditulis Karen pada 2019 berjudul Fields of Blood berbicara tentang apa?
Buku ini adalah respons Karen Armstrong
terhadap meningkatnya konflik politik global yang
membangkitkan semacam rasa takut terhadap agama, religiophobia, seolah-olah
agama itu sendirilah yang membawa kekerasan. Inilah pandangan yang coba
disanggah oleh Karen secara elegan. Jadi buku ini semacam pembelaan Karen
terhadap agama. Pembelaan ini membuat dia banyak diserang oleh berbagai kubu di
Eropa dan Amerika Serikat. Dia dianggap terlalu membela Islam. Seperti yang dia
uraikan dalam Battle for God, alasan di
balik perang-perang besar di dunia dalam sejarah, seperti Perang Dunia 1 dan 2,
bukanlah alasan agama, melainkan alasan nasionalisme dan ekonomi, perebutan
sumber daya yang langka. Demikian pula motif yang melatari kekerasan dan
serangan teroris pada zaman sekarang sering kali adalah ketidakadilan,
penindasan secara ekonomi dan politik. Argumen agama sering dipakai menjadi
pencetus karena mudah menggerakkan sentimen orang. Kelompok-kelompok orang beragama merasa
identitas mereka terancam dieliminasi oleh tekanan modernitas. Ini yang
memunculkan gerakan fundamentalisme, dan ciri-ciri fundamentalisme ini memiliki
kesamaan di antara semua agama.
Buku ini oleh para kritikus disebut sebagai pembelaan terhadap Islam. Dia mencoba menjawab apakah agama merupakan penyebab kekerasan, pemberi motivasi bagi aksi teroris.
“Terrorism has nothing to do with Muhammad, any more than the Crusades had anything to do with Jesus. There is nothing in the Islam that is more violent than Christianity. All religions have been violent, including Christianity."
8. Selain itu Karen juga menulis
Compassion: Dua Belas
Langkah untuk Hidup Welas Asih. Dan dari buku ini
dia mendirikan Charter of Compassion, yang di Indonesia didukung oleh Gerakan
Islam Cinta dan Peace Generation. Apakah Compassion yang dimaksud oleh Karen?
Inti dari pesan Compassion adalah Kaidah Emas (Golden
Rule): "Jangan lakukan pada orang lain apa yang kita tidak
inginkan bagi diri kita sendiri." Ini terkait dengan pernyataan Karen yang
menolak agama sebagai akar konflik. Keserakahan,
egotism, ambisi, kebencian, adalah pendorong terjadinya konflik yang lalu dibalut
dengan retorika agama. Compassion, mengajak kita memikirkan orang lain,
menempatkan mereka di pusat perhatian kita, berusaha menghilangkan penderitaan
orang lain. Karen mengajak kita meninggalkan sikap-sikap egotism ini,
menggantinya dengan sikap welas asih. Inilah inti ajaran seluruh agama
sejak zama Konfusius 500 SM, dan bergema kembali dalam ajakan tokoh-tokoh zaman
modern, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Martin Luther King. Karen
ingin ajaran ini yang diperkuat di tengah keriuhan yang membingungkan ketika
orang berbicara tentang agama.
9. Dari semua karya-karya Karen Armstrong, apa kira-kira pesan utama yang
ingin beliau sampaikan ke pembacanya?
Banyak irisan di antara buku-buku Karen,
karena kemiripan tema satu sama lain. Beberapa bagian kita akan mendapati hal
yang sering diulangnya. Saya akan menyebut tiga hal saja di sini:
Pertama: “Manusia adalah makhluk pencari
makna, meaning seeking creature. Dia akan mudah jatuh ke dalam keputusasaan
jika tidak menemukan makna dalam hidupnya.” Agama mestinya membantu kita dalam
menemukan makna ini, tapi kecenderungan interpretasi agama yang mengeras
membuat orang merasa praktik dan doktrin agama tidak lagi relevan, mereka
beralih kepada musik, literatur, tari, olahraga, atau obat-obatan untuk
mendapatkan pengalaman transendensi yang sepertinya memang merupakan kebutuhan
manusia.
Kedua soal “Kaidah Emas”. Menurut Karen,
inti agama adalah compassion, welas asih pada sesama. Ajaran welas asih ini ada
di dalam agama purba seperti Konfusianism hingga monoteisme zaman modern.
Ketiga, kita hidup di dalam dunia yang sangat terpolarisasi. Kita sangat perlu menjadikan welas asih (compassion) sebagai kekuatan penggerak di dunia yang terpecah ini; meninggalkan egotisme, meruntuhkan batasan dogma, ideologi, politik.
10. Terakhir,
apa saran mba Yuli bagi pembaca pertama buku-buku Karen? Misalnya buku mana
dulu yang sebaiknya dibaca?
Karen menulis “buku besar” dan “buku
kecil.” Dia sendiri yang menggunakan istilah itu dalam salah satu kuliah yang
disampaikannya di Jakarta tempo hari. Maksudnya, dia melahirkan buku-buku tebal
dengan tema besar setidaknya dua tahun sekali. Di antara buku-buku besar itu,
dia akan istirahat dan menuliskan buku kecil. Maka kita bisa membuat matriks
buku-buku Karen berdasarkan ini. A History of God, Battle for God, The GreatTransformation, Jerusalem, Case for God, Fields of Blood termasuk buku-buku besar, demikian pula yang terbaruThe Lost Art of Scripture. Di antara buku ini ada buku kecil seperti Islam: AShort Biography, Compassion, Buddha,
Bible: A Biography. Jadi untuk pilihan memulai pertama kali, tergantung pada daya
baca dan ketertarikan masing-masing. Kalau memerlukan kajian yang serius dan komprehensif, bisa mulai dari SejarahTuhan, pilihan yang tidak terlalu berat tapi cukup luas adalah Jerusalem. Mau yang ringan,
pilih Compassion. Dan, kalau ingin mengenal sosok Karen, baca autobiografinya, Menerobos Kegelapan.
Komentar
Posting Komentar