Apa Arti Hari Buku Nasional?



Hari ini, tak perlu kita mengulang lagi cerita lama tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Kita semua sudah mafhum itu. Data-data statistik yang selalu dikutip pun kita sudah hafal di luar kepala. Peringkat 60 dari 61 negara, hanya satu tingkat di atas Botswana, urutan ke 64 dari 65, hanya 1 di antara 1000 orang penduduk. Ini klise yang menghasilkan gambar pudar.

Kenyataannya, dalam tingkat minat baca yang demikianlah dunia penerbitan dan perbukuan kita bertumbuh. Dengan susah payah. Tahun demi tahun. Di tengah sedikitnya orang-orang yang mau membaca, buku-buku tetap dibeli. Penulis-penulis baru terus bermunculan. Puisi-puisi masih diperbincangkan. Nama-nama penulis lama dan baru melesat bergantian menjadi bintang. Buku-buku bestseller dunia tetap diterjemahkan.

Ini patut disyukuri, sekaligus disesali.

Yang ingin kita syukuri adalah, literasi bangsa ini nyatanya ditopang oleh kerja orang-orang yang punya kegairahan dan kecintaan tinggi terhadap buku. Tak mendapat dukungan pemerintah tak membuatnya lemah. Penggeraknya bukan orang-orang yang semata ingin cari untung dari bisnis buku.

Dalam suatu acara bincang daring, Haidar Bagir pendiri Penerbit Mizan Grup secara jujur mengatakan margin laba penerbitannya kini hanya berkisar empat persen. Buat pebisnis, lebih menguntungkan jika modalnya digunakan untuk bisnis lain atau diinvestasikan sehingga dengan mudah untuk mendapatkan margin yang lebih besar. Tapi tidak. Kecintaan pada buku membuatnya tetap memilih mengembangkan usaha penerbitan.

Yang ingin kita sesalkan hari ini adalah abainya pemerintah untuk mendukungan perbukuan. Dulu ada Dewan Buku, bubar. Pernah ada Komite Buku Nasional, bubar juga. Dibebani pajak bertubi-tubi, tetap tegar. Sempat ada dana terjemahan LitRI, pupus. Pembajakan dibiarkan, tak pernah bisa diberantas.

Yang kita harapkan hari ini tentunya dukungan pemerintah, agar industri yang menopang literasi bangsa ini tidak mati, di tengah pengabaian dan pembiaran. Agar para pelaku industri yang memang cinta mati dengan buku tetap bisa bernapas, tidak kapok memberikan upaya terbaik menghidupkan minat baca masyarakat.
 

Data industri penerbitan, tidak mudah untuk diperoleh, masih menggunakan data lama dari 2015


Hari Buku Nasional, yang di Indonesia diperingati setiap 17 Mei, katanya untuk mengingatkan bangsa ini tentang pentingnya membaca. Negara dengan pembaca buku terbanyak saat ini adalah India, di bawahnya Thailand dan China. Mereka membaca buku sekitar 10 hingga 9 jam per minggu. Indonesia entah nomor berapa, tak muncul dalam daftar 30 negara pembaca terbanyak itu (lihat Which Country Reads the Most?).

Dalam soal kemampuan membaca, Indonesia termasuk tinggi. Tingkat melek hurufnya 93%, tapi tingkat membacanya rendah. Demikian pula dalam hal produktivitas penerbitan, peringkat negeri ini tidak terlalu buruk, yaitu peringkat ke-8 dengan jumlah judul baru per tahun mencapai 89,000. Namun tentu lain cerita jika angka itu dibandingkan dengan jumlah penduduk.


Lalu mengapa minat baca buku disebut rendah? Banyak analis menyebut, ini bukan soal tidak mau membaca, tapi soal tidak tersedianya bahan bacaan. 

Di sinilah bentuk dukungan pemerintah yang diharapkan: sebar luaskan buku ke seluruh pelosok negeri yang luas ini, sediakan buku di perpustakaan yang mudah diakses masyarakat. Buku edisi asli ya, bukan yang bajakan. Dengan cara itulah, antara lain, pemerintah dapat mendukung minat baca masyarakat sekaligus menghidupkan industri penerbitan.


Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"