Im-perfeksionisme a la Kintsugi


Sumber foto:  http://tsugi.de


Jujur saja. Kadang saya melewati hari-hari dengan rasa jengah pada kapasitas saya yang serba tanggung, medioker. Pada hari-hari buruk, saya secara bawah sadar memojokkan diri sendiri dengan memperbandingkan diri dengan orang lain, diam-diam iri pada kesuksesan mereka. Saya berbicara dengan diri kecil saya dengan gemas, mencela karena tidak mengambil lebih banyak risiko ketika peluang muncul, tidak cukup berani untuk mengatakan dengan lantang apa yang sebenarnya saya inginkan, menyesali jalan yang telah saya ambil dan meninggalkan yang lain tak dijelajahi. Kepada orang-orang yang menghujani saya dengan pujian dan perhatian, saya diam-diam ingin mereka berhenti menyanjung dan mengatakan kebenaran yang pahit tentang saya yang sebenarnya.

Untungnya hal ini tidak terjadi setiap hari. Pada hari-hari baik, saya berdamai dengan semua suara jahat itu, berjalan ringan dengan penerimaan sepenuh hati atas momen saat ini. Pada hari-hari baik, pikiran saya piawai meramu kata-kata pemberi semangat untuk diri sendiri, menenangkan pikiran, memotivasi diri, dan akhirnya merasa cukup puas dan bersyukur atas semua yang ada.

Tetapi ketika hari-hari buruk datang, saya merasa seperti vas retak, dengan tanda kerusakan dan gurat-gurat di seluruh permukaan, layak untuk dibuang. Saya tidak merayakan hal-hal bahagia dengan gembira karena selalu mencurigai sesuatu tak menyenangkan mengintai di tikungan berikutnya. Saya mengantisipasi saat-saat buruk dan membentengi diri dari kekecewaan dengan tidak berharap terlalu tinggi dan tidak menunjukkan terlalu banyak emosi. Berjarak adalah perisai perlindungan saya. Saya ingin menghindari, sebisa mungkin, menambahkan lebih banyak retakan pada vas itu.





Tapi jatuh dan retak adalah kepastian hidup. Tidak ada orang yang tidak pernah mengalami kegagalan dan kekecewaan. Besar maupun kecil. Bisa jadi berupa hal-hal sepele seperti hujan yang tiba-tiba turun mengacaukan piknik, makanan yang tak sesedap terlihat pada gambar di menu, atau gagal menjaga berat badan setelah satu bulan berpuasa.

Terkadang kita juga mengalami guncangan besar dalam tahapan penting dalam hidup kita. Entah berupa kegagalan dalam ujian sekolah, kematian anak, kehilangan pekerjaan, ditipu rekan bisnis, atau dikhianati orang yang dicintai. Bergantung pada keras dampaknya, kita bisa retak, bisa juga hancur berkeping-keping.

Orang mengatakan bahwa sekali retak, sesuatu tidak akan pernah sama lagi. Sikap umum kita terhadap hal-hal yang rusak, retak, pecah, adalah membuangnya. Bayangkan saja piring keramik yang pecah atau gelas retak; kita sering membuangnya begitu saja, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak lagi berharga. Jendela kaca yang rusak segera diganti. Cermin pecah dianggap tidak berguna karena tidak memberikan pantulan yang jujur tentang apa yang ada di depannya. Kepercayaan yang rusak dapat menghancurkan kemitraan, pernikahan, dan bahkan mendorong orang bunuh diri.

 






Merenungi kehancuran dan keretakan yang tak terhindarkan ini, saya sangat senang mengetahui ada sebuah seni kuno Jepang yang disebut kintsugi, yang saya baca baru-baru ini dalam sebuah buku yang ditulis oleh Alain de Botton:

Filsuf Zen mengembangkan pandangan bahwa guci, cangkir, dan cawan yang telah rusak tidak boleh begitu saja diabaikan atau dibuang. Kita masih dapat terus menunjukkan rasa hormat dan perhatian kita dan memperbaikinya dengan sangat hati-hati ... Istilah yang diberikan untuk tradisi ini adalah kintsugi (kin berarti 'emas', tsugi 'bergabung', secara harfiah berarti 'menggabungkan dengan emas'). Potongan-potongan pot yang pecah secara tidak sengaja harus diambil dengan hati-hati, dipasang kembali dan kemudian direkatkan dengan pernis yang dibubuhi bubuk emas yang sangat mahal.


Saya tidak akan menguraikan di sini tentang asal mula dan sejarah seni ini karena kita dapat dengan mudah menemukannya dengan bantuan mesin pencari google. Singkatnya, kintsugi adalah seni menyatukan kembali pecahan keramik dengan lak bercampur serbuk emas. Tanpa berusaha menyamarkan kerusakan, melainkan dengan membuat garis patahannya menjadi indah dan kuat. Setiap retakan itu unik dan alih-alih memperbaiki keramik itu agar tampak seperti baru, teknik berusia 400 tahun ini justru menonjolkan "bekas luka" sebagai bagian dari desain.

Ketika pertama kali membaca tentang ini, saya berkata wow, ini adalah cara yang bagus untuk melihat kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam diri kita dan dalam hubungan dengan orang lain. Ini memberikan metafora yang indah dan mengajarkan pelajaran penting: barang yang rusak tidak selalu harus dibuang, dalam memperbaikinya kita sebenarnya dapat membuat sesuatu yang lebih unik, indah dan tangguh.



Cawan teh diperbaiki dengan metode kintsugi. Foto: Public Domain - Wikimedia


Pertanyaannya adalah tembikar pecah mana yang ingin saya perbaiki dan tingkatkan. Dari semua tembikar imajiner itu, pertama-tama, pastinya diri saya sendiri. Saya memiliki celah dan luka yang berasal dari kegagalan saya menyelesaikan sekolah pascasarjana, kecewa dengan orang yang saya cintai, gagal lolos seleksi beasiswa. Di folder komputer saya ada banyak bukti kegagalan saya untuk mencapai tujuan pribadi, rencana yang gagal, konsep yang belum selesai, skrip setengah jalan yang macet kehilangan arah. Ada banyak celah dan bekas luka di diri saya yang serba tanggung ini.

Jika karena semua ini saya pernah melihat diri saya sebagai vas pecah, sekarang saya harus mulai melihat setiap garis retaknya sebagai keindahan potensial untuk ditunjukkan. Punguti setiap pecahan, taruh kembali untuk digabungkan kembali menggunakan emas bercampur lak pernis. Saya ingin menguasai seni kintsugi dan menerapkannya pada diri saya sendiri.





Kintsugi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat sebagai seni merangkul ketidaksempurnaan, seni pemaafan, dan penerimaan diri. Vas retak saya dapat menjadi sebuah karya seni yang lebih bernilai dan memiliki kekuatan lebih setelah segala sesuatu yang membuatnya retak dan pecah. Jadi saya katakan pada diri saya, ayo ambillah lebih banyak risiko, jadilah pemberani dan tegas, kegagalan dan kekecewaan akan membuat vas diri saya lebih kuat dan indah.

Jika saya menemukan sesuatu yang berharga dalam vas hubungan dengan orang lain, maafkan kepercayaan yang telah dirusak, lihat kekurangannya sebagai garis keindahan yang unik dari mereka. Pada akhirnya kita semua menjadi lebih bernilai dan mengenali karakter yang sebenarnya selama kita juga otentik dan tidak menutup-nutupi luka kita sendiri.

Mungkin betul, sesuatu yang pernah pecah takkan pernah sama lagi. Tapi bisa berubah menjadi lebih berharga melalui kintsugi--sebuah seni imperfeksionisme.


Versi Inggris



Komentar

  1. baguuus banget tulisannya. Makasih mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Hadi, senang sudah dibaca dan diapresiasi 😊

      Hapus

Posting Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"