Perpustakaan
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta. 23 September 2017 |
BERKUNJUNG ke perpustakaan adalah sebuah kegiatan yang gemar saya lakukan bersama anak saya sejak dia berusia satu tahun. Dia senang bermain dengan buku, membolak-balik halamannya yang penuh gambar berwarna atau sekadar menggigit-gigit kertasnya yang tebal. Ketika kami tinggal di Koganei, Tokyo, lokasi perpustakaan itu dapat ditempuh dengan lima belas menit bersepeda dari rumah. Setibanya di sana saya biasanya langsung naik ke lantai dua yang dikhususkan untuk anak-anak, tanpa keharusan menitipkan tas di pintu masuk.
Di lantai dua itu terdapat panggung kayu setinggi kira-kira dua puluh centimeter untuk tempat bermain dan membacakan buku bagi anak-anak balita. Panggung seluas empat meter persegi itu terletak di salah satu pojok ruangan. Sepanjang dua sisi panggung yang menempel ke dinding berjejer rak pendek penuh buku cerita bergambar. Di depannya terdapat beberapa kotak kayu berisi buku-buku untuk anak di atas satu tahun, seperti Serial Bruna dan Anpanman. Di atas panggung itu juga terdapat mainan anak-anak dan bantalan duduk yang empuk.
Begitu berada di panggung itu Hanifa pertama-tama tertarik untuk mengacak-acak buku yang sudah tersusun rapi di dalam rak. Dia senang melihat buku-buku itu berjatuhan ke lantai. Saya biarkan beberapa saat, tidak ada teguran dari petugas. Kadang-kadang ada beberapa anak yang berlarian di sekeliling panggung sementara ibunya duduk membacakan buku dengan suara keras. Suasana bebas dan nyaman ini membuat kunjungan ke perpustakaan jadi menyenangkan.
Setelah beberapa saat bermain, saya memilihkan buku untuk dipinjam. Meski tidak ada pembatasan jumlah buku yang dapat dipinjam, saya biasanya meminjam antara tiga sampai lima buku bergambar dengan teks sederhana setiap kali datang berkunjung. Petugas perpustakaan akan menyapukan alat scannya ke kode batang di sampul belakang buku dan pada kartu anggota saya. Kemudian saya menerima selembar slip peminjaman seperti yang diperoleh dari kasir supermarket. Pada secarik kertas itu tertera nomor anggota saya, kode dan judul buku yang saya pinjam serta tanggal pengembaliannya.
Prosedur peminjaman buku dilakukan dengan sangat cepat, pengembalian buku pun cukup dengan meletakkan buku di meja petugas atau memasukkannya ke kotak pos khusus yang tersebar di beberapa tempat di dalam kota. Tingkat kepercayaan yang tinggi tidak menuntut inspeksi yang berlebihan pada si peminjam maupun pada buku yang dipinjam. Buku dapat dipinjam selama tiga minggu.
Jika ada waktu, saya akan masuk ke lantai satu untuk meminjam CD atau membaca majalah. Dari sekitar enam puluhan majalah dan dua puluhan koran yang ada di lantai satu ini , hanya empat yang bisa saya baca: majalah Time, Tokyo Journal, Fortune, dan koran Japan Times. Kelihatannya hanya inilah terbitan berbahasa Inggris yang ada di sana, selebihnya berbahasa Jepang. Bahkan majalah National Geographic dan Newsweek pun hanya tersedia dalam edisi Jepang.
Koganei, nama daerah tempat tinggal saya, adalah sebuah wilayah administratif di Tokyo dengan jumlah penduduk sekitar seratus ribu orang. Di wilayah yang luasnya sebelas kilometer persegi ini terdapat tiga perpustakaan umum, empat lokasi perpustakaan keliling, dan kotak-kotak pos pengembalian buku yang tersebar di berbagai tempat. Koleksi perpustakaan ini berjumlah sekitar 43 ribu judul buku. Seluruh warga Koganei yang berusia di atas empat tahun, termasuk orang asing, dapat menjadi anggotanya. Di sana tersedia layanan pencarian dan peminjaman buku antarperpustakaan, acara pembacaan buku untuk anak di atas usia empat tahun sekali seminggu, dan layanan khusus untuk penyandang tunanetra dan cacat fisik lain.
Perpustakaan di Jepang telah mempunyai sejarah panjang. Yang paling awal tercatat didirikan oleh Pangeran Shotoku di kuil Horyuji dekat Nara pada tahun 607. Perpustakaan itu dinamai Yumedono (Hall of Dreams) dan menyimpan terutama kitab suci Buddha dan literatur dari Cina. Koleksi yang kini tersimpan di Perpustakaan Kerajaan dan Perpustakaan Nasional Kabinet (Diet) sebagian besar terkumpul selama periode keshogunan Edo Tokyo.
Perpustakaan Kerajaan (Shojaku-kan) merupakan perpustakaan modern pertama yang dibiayai oleh pemerintah pusat dan dibuka untuk umum sejak April 1872, disusul oleh perpustakaan publik (Shushoin) di Kyoto pada Mei 1873. Perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah mulai didirikan sejak 1871, dan dilanjutkan dengan pendirian perpustakaan tingkat wilayah setara kecamatan pada tahun-tahun awal abad kedua puluh.
Selama era militerisme Jepang, sebelum pecahnya Perang Pasifik, pemerintah menggunakan catatan sirkulasi perpustakaan publik untuk menyelidiki ideologi dan selera baca setiap orang. Insiden ini masih menyisakan dampak pada budaya kepustakaan Jepang yang kini sangat melindungi privasi anggotanya. Catatan buku-buku yang dipinjam oleh setiap orang dihapus segera setelah buku dikembalikan dan tidak dapat diakses oleh siapa pun. Rekaman video di dalam ruangan perpustakaan tidak diperbolehkan.
Jika ada waktu, saya akan masuk ke lantai satu untuk meminjam CD atau membaca majalah. Dari sekitar enam puluhan majalah dan dua puluhan koran yang ada di lantai satu ini , hanya empat yang bisa saya baca: majalah Time, Tokyo Journal, Fortune, dan koran Japan Times. Kelihatannya hanya inilah terbitan berbahasa Inggris yang ada di sana, selebihnya berbahasa Jepang. Bahkan majalah National Geographic dan Newsweek pun hanya tersedia dalam edisi Jepang.
Koganei, nama daerah tempat tinggal saya, adalah sebuah wilayah administratif di Tokyo dengan jumlah penduduk sekitar seratus ribu orang. Di wilayah yang luasnya sebelas kilometer persegi ini terdapat tiga perpustakaan umum, empat lokasi perpustakaan keliling, dan kotak-kotak pos pengembalian buku yang tersebar di berbagai tempat. Koleksi perpustakaan ini berjumlah sekitar 43 ribu judul buku. Seluruh warga Koganei yang berusia di atas empat tahun, termasuk orang asing, dapat menjadi anggotanya. Di sana tersedia layanan pencarian dan peminjaman buku antarperpustakaan, acara pembacaan buku untuk anak di atas usia empat tahun sekali seminggu, dan layanan khusus untuk penyandang tunanetra dan cacat fisik lain.
Perpustakaan di Jepang telah mempunyai sejarah panjang. Yang paling awal tercatat didirikan oleh Pangeran Shotoku di kuil Horyuji dekat Nara pada tahun 607. Perpustakaan itu dinamai Yumedono (Hall of Dreams) dan menyimpan terutama kitab suci Buddha dan literatur dari Cina. Koleksi yang kini tersimpan di Perpustakaan Kerajaan dan Perpustakaan Nasional Kabinet (Diet) sebagian besar terkumpul selama periode keshogunan Edo Tokyo.
Perpustakaan Kerajaan (Shojaku-kan) merupakan perpustakaan modern pertama yang dibiayai oleh pemerintah pusat dan dibuka untuk umum sejak April 1872, disusul oleh perpustakaan publik (Shushoin) di Kyoto pada Mei 1873. Perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah mulai didirikan sejak 1871, dan dilanjutkan dengan pendirian perpustakaan tingkat wilayah setara kecamatan pada tahun-tahun awal abad kedua puluh.
Selama era militerisme Jepang, sebelum pecahnya Perang Pasifik, pemerintah menggunakan catatan sirkulasi perpustakaan publik untuk menyelidiki ideologi dan selera baca setiap orang. Insiden ini masih menyisakan dampak pada budaya kepustakaan Jepang yang kini sangat melindungi privasi anggotanya. Catatan buku-buku yang dipinjam oleh setiap orang dihapus segera setelah buku dikembalikan dan tidak dapat diakses oleh siapa pun. Rekaman video di dalam ruangan perpustakaan tidak diperbolehkan.
Perang Pasifik menghancurkan 65% perpustakaan publik, memaksa Jepang untuk membangun lagi sebuah sistem perpustakaan baru seolah kembali dari awal. Periode restorasi kedua ini melahirkan antara lain sebuah Hukum Perpustakaan Publik pada 30 April 1950. Hingga kini tanggal itu ditetapkan sebagai "Hari Perpustakaan".
Perkembangan pasca-perang ini juga meliputi peningkatan layanan terhadap anak-anak dan penyandang cacat, pendirian bangunan-bangunan perpustakaan modern, perpustakaan keliling untuk pengguna di tempat-tempat terpencil, penyertaan materi audio-visual dalam koleksi perpustakaan, serta sistem komputerisasi penuh.
Kuatnya jaringan perpustakaan dan kemudahan akses terhadap koleksinya tentu merupakan penopang bagi masyarakat dengan budaya literer yang tinggi seperti negeri sakura ini. Perpustakaan daerah Koganei yang sering saya kunjungi biasanya lebih ramai di hari minggu dan hari-hari libur sekolah. Anak-anak tampak asyik membaca buku sambil sesekali bercengkrama. Perpustakaan bukan tempat yang asing dan menjenuhkan bagi mereka sejak kecil.
Perkembangan pasca-perang ini juga meliputi peningkatan layanan terhadap anak-anak dan penyandang cacat, pendirian bangunan-bangunan perpustakaan modern, perpustakaan keliling untuk pengguna di tempat-tempat terpencil, penyertaan materi audio-visual dalam koleksi perpustakaan, serta sistem komputerisasi penuh.
Kuatnya jaringan perpustakaan dan kemudahan akses terhadap koleksinya tentu merupakan penopang bagi masyarakat dengan budaya literer yang tinggi seperti negeri sakura ini. Perpustakaan daerah Koganei yang sering saya kunjungi biasanya lebih ramai di hari minggu dan hari-hari libur sekolah. Anak-anak tampak asyik membaca buku sambil sesekali bercengkrama. Perpustakaan bukan tempat yang asing dan menjenuhkan bagi mereka sejak kecil.
Komentar
Posting Komentar