Hotaru dan Haiku
Ochanomizu hotaru. Kobayashi Kiyochika, circa 1880 |
Pada awal musim hujan seperti sekarang, saya dan anak-anak suka duduk di teras belakang menjelang malam, melihat kunang-kunang. Waktu kecil, mereka pernah benar-benar menangkap beberapa kunang-kunang dan menyimpannya di dalam botol kaca, hanya untuk mencoba membuat lampu kunang-kunang seperti banyak digambarkan dalam komik dan anime, lalu dilepas lagi.
Ada kesan lembut dan halus pada kunang-kunang yang
membuatnya amat menarik perhatian. Kelap-kelipnya yang lemah dan terbangnya yang
lambat seperti suar bergerak dalam gelap. Daya tarik makhluk bercahaya ini membuat
berkembangnya banyak cerita rakyat, mitos, takhayul, dan puisi terkait
dengan kunang-kunang dalam berbagai latar budaya.
Di Indonesia, misalnya, dikatakan bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Di Cina zaman kuno, kunang-kunang diyakini berasal
dari pembakaran rumput. Naskah Cina kuno mengisyaratkan bahwa hobi yang populer
di musim panas adalah menangkap kunang-kunang dan menaruhnya di kotak
transparan, untuk digunakan sebagai lentera. Sedangkan dalam tradisi Victoria,
Inggris, ada takhayul bahwa jika kunang-kunang masuk ke dalam rumah berarti tak
lama lagi ada yang akan wafat di rumah tersebut.
Kunang-kunang juga sering muncul dalam cerita rakyat pribumi
Amerika. Dalam sebuah legenda Suku Apache dikisahkan tentang seekor rubah penipu
yang mencoba mencuri api dari desa kunang-kunang. Ekor si rubah terbakar karena
dijilat api yang melahap kulit kayu. Rubah melarikan diri dan memberikan kulit
kayu itu kepada Elang, yang membawanya terbang dan menyebarkan bara api ke seluruh
dunia. Dengan cara itulah Suku Apache pertama kali mengenal api.
Paling menarik adalah di Jepang, yang memiliki kecintaan khusus
pada serangga yang mereka sebut “hotaru” ini. Pernah tinggal di Tokyo selama
hampir lima tahun, saya bisa menyaksikan betapa musim panas di sana menyengat
segenap indera kita. Bunyi tonggeret tanpa henti sepanjang siang, dan rombongan
kunang-kunang pada malam hari di sepanjang tepi sungai yang sering saya lalui.
Sejak dahulu pemandangan kunang-kunang pada malam musim panas menjadi pertunjukan yang dinanti-nanti. Hingga kini beberapa tempat di Jepang rutin mengadakan festival kunang-kunang—hotaru matsuri—dengan melepaskan ribuan kunang-kunang yang dalam budaya Jepang diasosiasikan dengan ruh para pejuang yang tewas di medan perang.
Di
Kyoto, misalnya, ada wisata terkenal untuk melihat kunang-kunang di sepanjang
ruas jalan yang dijuluki Philosopher’s Path, jalur sempit di tepi sungai kecil
yang terhubung ke Danau Biwa di kaki Higashiyama.
Ajaran Buddhisme Zen Jepang menjadikan hotaru sebagai salah satu simbol
bagi konsep sentralnya tentang singkatnya kehidupan. Dalam Zen, hotaru adalah
simbol kesementaraan yang ditafsirkan secara positif. Kunang-kunang yang lemah
namun cantik ketika dilihat dalam jumlah besar di hutan pinus atau di padang
rumput pada malam hari, seperti perlambang kepedihan kehidupan kita sendiri: singkat dan cepat berlalu, namun memiliki kekuatan, harapan, keindahan.
Dengan daya tariknya yang lembut dan menyenangkan, tak heran jika kunang-kunang juga kerap digunakan dalam ungkapan puitis dan masuk ke dalam tradisi penulisan haiku. Sejak abad ke-8, dalam antologi Man’you-shu, kunang-kunang telah menjadi metafora untuk kecintaan pada puisi.
Izumi Shikibu, yang dianggap sebagai penyair perempuan terhebat
periode Heian, menuliskan haiku berikut untuk melukiskan kerinduan yang
dirasakannya pada kekasih yang telah tiada:
Kerlip kunang-kunang di lembah
Bagaikan cahaya kerinduanku
Penyair besar abad ketujuh belas Matsuo Basho mengarahkan
perhatiannya pada makhluk kecil dengan masa hidup yang singkat ini, untuk
mengingat keterbatasan kita sendiri:
Dari sehelai rumput
Kembali terbang
Katsura Nobuko (1914–2004) penyair perempuan penulis haiku
modern yang puisi-puisi awalnya agak erotis, mengambarkan pertemuan pada suatu
malam musim panas:
Untuk menemui dia
Di malam kunang-kunang
Kunang-kunang dengan sayapnya yang halus adalah pengingat tentang perlunya kepasrahan di hadapan keagungan dan misteri alam semesta. Kobayasi Issa, pendeta Buddhis abad ke-18 yang juga seorang master haiku, menulis 230 puisi tentang kunang-kunang. Dalam salah satu haikunya yang paling terkenal, dia merekam momen keheningan sejenak ketika laju waktu terasa lebih lambat:
Bahkan di dalam mulut katak
Yang menganga lebar
Haiku-haiku ini mengabadikan momen-momen singkat yang memberi pencerahan dari kehadiran kunang-kunang.
Kerlipnya yang lemah dan singkat sebagaimana tubuh dan hidupnya sendiri, mampu menginspirasi ungkapan puitis dan mengabadi dalam karya berbagai budaya.
Kunang-kunang dalam kelembutan dan kerapuhannya memberi penegasan, betapa berharganya setiap kehidupan yang kita jumpai di tengah semesta, di mana kita pun tak lebih dari sebutir debu.
Hikmah dari sang Hotaru.
Hunting for fireflies.Harunobu Suzuki 1767-1768 |
Komentar
Posting Komentar