"Memento Mori"
Raung ambulans lebih sering terdengar belakangan ini. Berita duka kepergian abadi kawan dan kerabat bertubi-tubi melintas di linimasa setiap hari. Maut terasa lebih dekat di masa pandemi. Kita diingatkan padanya tanpa henti. Dan, seperti penumpang kapal yang sedang dihantam badai di tengah lautan, kita mencoba bertahan dengan sekuat tenaga mencengkeram tepi. Dalam lotere nasib, kita tak tahu siapa yang akan jatuh, siapa yang akan bertahan hingga badai berlalu dan selamat menembus amuknya.
Terlepas dari keadaan pandemi, jarak maut sesungguhnya tak pernah lebih jauh atau lebih dekat. Kita hanya sering abai, lupa, atau menghindar untuk membicarakannya. Kita tahu, tak ada ramalan nasib yang lebih pasti daripada mati. Kepastiannya yang mutlak membuat kematian telah menjadi bahasan dalam filsafat, agama dan tradisi seluruh umat manusia sejak lama dan mengilhami banyak karya seni, arsitektur, musik, dan sastra. Mereka menunjukkan bahwa mengingat mati justru selayaknya diletakkan pada posisi penting di dalam pikiran. Bukan untuk membuat takut atau menunjukkan semua berujung tiada dan sia-sia, melainkan sebagai pendorong bagi hidup yang lebih semarak.
Philippe de Champaigne's Vanitas (c. 1671) - Web Gallery of Art. Public Domain |
Di atas kereta yang sama, persis di belakang sang jenderal yang dipuja, berdiri seorang pelayan. Satu-satunya tugas sang pelayan sepanjang pawai adalah untuk terus-terusan membisikkan ke telinga sang jenderal, “Respice post te. Hominem te esse memento. Memento mori!”
“Lihat ke belakang. Ingat, engkau
manusia. Ingat, kau pasti mati!”
Bayangkan, betapa lelucon ironis, jenderal yang sedang
merayakan kemenangan, sedang diagungkan orang banyak, pada saat itu juga
diingatkan akan dirinya sebagai manusia. Pada saat itu juga di telinganya
dibisikkan kepastian nasibnya. Dia tak boleh sombong dan lupa diri. Dan memang
kematian tak jarang datang ketika seseorang sedang di puncak kejayaan.
Istilah dalam pengertian yang sama bisa ditemukan dalam tradisi-tradisi lain. Dalam khazanah spiritual Islam dikenal istilah tadzkiratul maut yang berarti “mengingat mati”, sebagai pengingat agar kita memperbanyak amal saleh sebagai bekal di alam baka. Beberapa Sufi bahkan diberi julukan ahl al-kubur karena menjalankan kebiasaan mengunjungi makam untuk merenungkan dan senantiasa mengingatkan mereka akan kefanaan hidup.
Dalam Buddhisme, ada praktik bermeditasi tentang kematian yang disebut maraṇasati, gabungan dua kata bahasa Pāli: maraṇa “kematian” dan sati “kesadaran”. Buddhisme Tibet memiliki topeng Citipati sebagai pengingat pada kesementaraan hidup dan siklus abadi hidup dan mati.
Di Jepang, meditasi Buddhisme Zen tentang kematian menampakkan pengaruhnya pada budaya, sebagaimana diuraikan dalam risalah klasik tentang etika samurai, “Hagakure”. Risalah klasik ini menyatakan bahwa Jalan Samurai dari hari ke hari menghendaki agar seseorang membayangkan cara kematian yang paling indah, dan menanamkan dengan mantap pikiran tentang kematian.
Dalam tradisi orang Jepang untuk melakukan hanami (melihat bunga pohon sakura di awal musim semi) dan momijigari (melihat daun pohon momiji di awal musim gugur), terkandung filosofi samurai bahwa segala sesuatu menjadi paling indah sesaat sebelum kejatuhannya, dan mereka menetapkan tujuan untuk hidup dan mati dengan cara yang sama.
Ingatan akan kematian mendorong para seniman Eropa abad ke-16 dan 17 untuk membuat karya seni “memento mori”. Diinspirasi oleh ayat dalam kitab Pengkhotbah, “kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia” (“vanity of vanity, all is vanity”), genre seni ini dinamakan vanita’s art. Seni vanita menyampaikan kefanaan manusia dan pembusukan yang tak terhindarkan seiring berjalannya waktu.
Lukisan vanita biasanya menampilkan kumpulan berbagai objek simbolis seperti tengkorak manusia, lilin yang meleleh, bunga layu, gelembung sabun, arloji, kupu-kupu dan jam pasir. Pesan inti karya-karya ini bukanlah untuk menimbulkan rasa putus asa, tetapi membantu orang menggunakan pemikiran tentang kematian untuk berfokus pada prioritas yang benar-benar penting.
Vanitas Still Life. Pieter Claesz, 1630 |
Setiap orang pasti pernah mengalami momen memento mori. Bukan hanya berupa kabar kematian saudara atau teman, jauh ataupun dekat, yang semakin kerap semasa wabah ini, tapi juga dalam kejadian hidup sehari-hari dan dari mengamati perubahan diri sendiri.
Saya mengalami momen memento mori, misalnya, ketika membaca—rabun jika tanpa kacamata; ketika bercermin—kerutan wajah yang semakin kentara; ketika menaiki tangga menuju meja kerja di lantai dua kantor—langkah menapaki anak tangga pertama kini sering menimbulkan kejutan ngilu di sendi lutut.
Juga belum lama ini ketika saya mengalami nyaris pingsan saat hiking di perbukitan Cikored di Bandung Utara. Napas tersengal, karena saya tak menduga stamina saya sudah seburuk itu untuk menjalani trek naik turun yang dulu terasa tak seberapa.
Melihat anak-anak makin beranjak remaja lalu dewasa pun pastinya menjadi pengingat yang luar biasa tentang waktu yang melaju kencang dan berkurangnya sisa jatah usia.
Pertambahan usia dan menurunnya fungsi optimal anggota tubuh tentu saja hanya variabel kecil, sekadar penanda tentang kerentanan hidup yang terbatas. Tapi ia juga menyimpan pesan tersembunyi tentang saat untuk menjadi matang, ketika kita semestinya siap untuk memberi buah yang manis, dan melepaskan cengkeraman erat pada dunia.
Seperti yang diingatkan oleh puisi Rumi:
Dunia ini
seperti pohon,
dan kita adalah buah setengah matang di dahannya.
Buah mentah menempel erat di cabang
karena, belum matang, belum siap menuju istana.
Ketika telah matang, manis dan berair,
buah melonggarkan cengkeramannya.
Ketika mulut telah mencicipi manis kebahagiaan,
kerajaan dunia kehilangan daya tariknya.
tak banyak orang yang menulis artikel tentang Memento Mori, padahal penting dan dalam untuk dihayati. Ijin share juga pengalaman tentang Memento Mori
BalasHapushttps://www.mylittleheart.net/memento-mori/
Terima kasih sudah berbagi link artikelnya, Pak.
Hapus