Madeleine de Proust: Hujan, Rumput dan Buku
Sisa hujan di helai rumput. Bandung, Juni 2011 |
Saya tak suka hujan pagi, karena ia membuat hari yang baru dimulai langsung terasa seperti senja. Tapi gerimis yang turun awal pagi minggu lalu terasa menyenangkan. Karena, bersamaan dengan turunnya rinai tipis kala itu, ada yang sedang memangkas rumput yang sudah tumbuh tinggi di halaman. Udara jadi penuh wangi potongan rumput segar bercampur aroma hujan.
Entah bagaimana kenangan bekerja, bau yang tercium pagi itu seketika
melontarkan saya ke suasana pameran buku Frankfurt sehari sebelum pembukaan,
ketika rak pajang masih dirakit, karpet belum dipasang, buku-buku masih
berserakan baru dikeluarkan dari kardus.
Udara ruang pameran punya bau khas yang persis seperti itu
dalam ingatan saya. Mungkin saja asosiasinya berbeda untuk orang lain, tapi bagi
saya keduanya terkunci dalam kotak yang sama.
Bebauan bisa menjadi alat transportasi bagi pikiran, seperti
kunci pembuka kotak memori, pemegang kode rahasia untuk menembus portal waktu. Bebauan
membangkitkan memori yang berkelebat dengan cepat, membawa bersamanya emosi
yang ada pada waktu yang dikenang.
Bau melati selalu menghadirkan ingatan tentang ibu saya di waktu
fajar ketika saya masih kecil. Umak suka memetiki kuntum melati yang masih
basah oleh embun sepulang dari subuh berjamaah di masjid, lalu menyimpannya di
lipatan mukena bersama mushaf al-quran. Menghidu bau melati kapan pun bagi saya
membangkitkan rasa tenang, tenteram, terlindungi dan bebas dari segala beban,
seperti di waktu itu.
Bau diesel buat saya memusingkan, membuat gusar, hilang
sabar, mengingatkan pada perjalanan darat yang panjang selama tiga puluhan jam dengan
bus dari Bandung ke Padang hampir tiga dekade yang lalu. Saya menghindari bau
ini sedapatnya.
Marcel Proust, sastrawan Prancis awal abad kedua puluh,
melukiskan momen pemicu kenangan ini dalam novelnya In Search of Lost Time
yang terbit pertama kali pada 1912. Novel enam jilid setebal 3000 halaman itu
dibuka dengan adegan ketika suatu pagi, tulis Proust, “sesendok teh lemon bercampur
potongan kue madeline” melontarkan ingatannya ke masa kecil di rumah Bibi Leoni.
“Seketika panggung terhampar, kamar
bibi Leoni di rumah tua kelabu ... dan rumah-rumah lain di kota itu, jalanan
yang biasa kulewati setiap hari, jalan desa yang ketika itu masih mulus..
seluruh desa Combray dan lingkungan sekitarnya terbayangkan dan mewujud, lengkap
dengan taman dan kebunnya, dari secangkir teh itu.”
Dari novel Proust, momen semacam itu kemudian mendapatkan namanya: Proust Moment—pengalaman inderawi yang memicu banjir kenangan lama atau bahkan yang tampaknya telah terlupakan.
Peneliti psikologi dan neurosains ada
yang menyebutnya “momen madeleine”. Dalam bahasa Prancis, istilah “madeleine de
Proust” sudah lazim digunakan dalam percakapan
sehari-hari, misalnya “Lavender adalah madeleine de Proust bagiku. Baunya
mengingatkanku pada liburan keluarga di Provence.”
Kaitan erat antara aroma dan memori disebabkan oleh susunan anatomi
otak. Saraf penciuman terletak di bagian depan otak yang dekat dengan pusat
komando seperti hippocampus dan amygdala. Karena itu, bebauan yang terhidu oleh
saraf penciuman langsung masuk ke sistem dalam otak yang terkait dengan emosi
dan memori. Hal serupa tak terjadi pada sinyal dari indera lainnya seperti perasa
dan penglihatan.
Indera penciuman adalah satu-satunya indera yang telah
matang pada janin di dalam rahim, dan salah satu yang paling berkembang hingga
usia 10 tahun ketika indera penglihatan mulai mendominasi. Karenanya masa
kanak-kanak cenderung menjadi periode ketika kita menciptakan memori tentang bebauan
yang paling kita suka dan benci sepanjang hidup.
Saya suka bau rumput dan hujan pagi itu. Konon, ini adalah dua
jenis bebauan yang paling banyak disukai orang. Sebagian ilmuwan yang
mengatakan bahwa kita mewarisi kesukaan pada bau hujan dari leluhur yang
mengandalkan musim hujan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan bau rumput disukai
karena memunculkan asosiasi pada warna hijau yang melambangkan kehidupan dan
kesuburan.
Hujan yang turun di atas tanah kering menguarkan aroma yang dinamakan petrichor. Istilah ini diciptakan pada 1964 oleh dua ilmuwan Australia Isabel Joy Bear dan Richard G Thomas, dari gabungan dua kata bahasa Yunani petros, "batu", dan ichor, yang berarti "cairan yang mengalir di nadi para dewa.”
Tiga komponen yang menyusun bau petrichor adalah
senyawa organik di dalam tanah yang bernama geosmin, ozon dari udara, dan
minyak tanaman yang mudah menguap. Sedangkan wangi segar rumput yang baru
dipotong berasal senyawa daun hijau yang biasa diuarkan tanaman ketika dirusak
oleh serangga, terkena infeksi atau terpangkas oleh suatu alat.
Selain rumput dan hujan, satu lagi bau yang banyak disukai adalah bau buku. Saya baru tahu ternyata ada sebutan khusus juga untuk bau ini, yaitu biblichor. Buku memiliki keharuman khas dari campuran tinta dan kertas ditambah dengan efek yang muncul dari penuaan kayu bahan pembuat kertas.
Kebanyakan kita sudah mengakrabi buku dari
kecil, mungkin itu sebabnya biblichor termasuk bau yang lazim disukai karena
terasosiasi dalam bawah sadar dengan memori masa kecil yang nyaman dan menyenangkan.
Banyak orang sangat suka bau buku dan menjadikannya alasan menolak
buku digital. Ray Bradbury, penulis novel terkenal Amerika Fahrenheit 451
menyampaikan keberatan ketika novelnya akan diterbitkan dalam bentuk e-book
dengan mengatakan, “Tak ada masa depan untuk e-book, karena e-book bukan buku.
E-book berbau seperti bahan bakar minyak.”
Para pencinta bau buku membawa biblichor ke tingkatan seni yang lebih tinggi. Steidl pencetak dan penerbit buku di Gottingen Jerman membuat parfum Paper Passion yang mereplikasi wangi segar buku saat pertama kali dibuka.
Parfum ini dirancang oleh pembuat parfum butik Geza Schoen yang melewatkan waktu berhari-hari di markas Steidl yang penuh kertas di Gottingen, menghidu dan memilah sampel kertas dan tinta untuk menemukan inspirasi bagi parfum yang memiliki keseimbangan antara bau kertas dan estetika parfum yang dapat dinikmati.
Paper
Passion dikemas dalam kotak unik berbentuk buku, halaman-halaman awal berisikan
pengantar yang ditulis antara lain oleh novelis Jerman peraih hadiah Nobel, Gunter Grass.
Pada November tahun ini, jaringan toko buku Powell’s yang berpusat di Oregon juga mengeluarkan produk parfum yang dinamai Eau de Bookstore. Dengan sentuhan aroma violet, kayu, dan "bau buku", untuk "menciptakan suasana di lorong toko buku, perpustakaan rahasia, papirus kuno," seperti deskripsi resmi yang tertulis di situs toko buku tersebut.
Parfum ini diluncurkan di tengah pandemi Covid-19, yang menyebabkan toko buku di seluruh dunia menutup pintu toko fisik mereka dan hanya terbuka untuk umum secara elektronik.
Parfum "Paper Passion" dari Steidl |
Hujan, rumput dan buku bisa menjadi pemicu momen madeliene
de Proust. Tentu masih banyak bebauan lain yang dapat menimbulkan efek itu: aroma
roti yang baru dipanggang, kopi yang sedang diseduh, cat dinding dan sirop
marjan.
Para desainer kini mulai memasukkan faktor aroma dalam branding,
misalnya jaringan hotel ingin pengunjung mendapatkan aroma yang sama pada saat
menginap di cabang hotel mereka di kota mana pun di seluruh dunia. Kenangan
yang melekat dalam menggunakan layanan atau barang tertentu dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan loyalitas konsumen.
Pertambahan usia mengurangi ketajaman indera penciuman, namun, menurut para ahli, hidung sama seperti halnya otot dalam tubuh yang bisa diperkuat dengan memberinya latihan harian dengan menghidu. Semakin sering digunakan, semakin kuat kemampuannya.
Dengan semakin banyak penyedia ramuan berbagai essential oil dengan nama-nama yang kreatif seperti "Ocean Dream", "Magical Forest", "Silent Night Signature", tampaknya saya bisa menikmati suasana laut dan hutan hanya dengan duduk di dalam kamar saja.
Peppermint, Eucalyptus, Frangipani |
Komentar
Posting Komentar