Yusuf Ali: Jembatan Antara India dan Barat (Bag. 2)

Agra, 10 Jan 2016


Seusai studi hukumnya di St John's College, Cambridge, Yusuf Ali diangkat menjadi pegawai Pamong Praja India, sebuah jabatan bergengsi bagi kalangan pribumi India di zaman pemerintahan kolonial Inggris. Kala itu dia masih berusia dua puluh tiga tahun.

Kecenderungan politik Yusuf Ali segera terlihat. Sedikitnya jumlah pemuda India berpendidikan tinggi seperti Yusuf Ali membuat namanya cepat melejit di tanah air. Kariernya terus menanjak dari tahun ke tahun.

Dalam periode 1906-1907 untuk pertama kalinya Yusuf Ali menyuarakan gagasan-gagasanya mengenai agama dan politik lewat berbagai tulisan dan pidatonya. Atas undangan bendaharawan dan pengawas Royal Society of Arts di London, George Birdwood, Yusuf Ali menyampaikan kuliah berjudul "Kaum Muslim India: Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Mereka."

Kuliah ini merupakan sukses cemerlang bagi Yusuf Ali. Dia mendapat pujian dari Lord Ampthill, mantan Gubernur Madras dan pemangku jabatan Raja Muda India pada 1904, "Betapa hebatnya karakter, energi dan usaha yang dibutuhkan oleh pemuda India ini...untuk datang dan menyelesaikan pelajarannya di sini dan memasuki persaingan dengan orang-orang Inggris untuk menjadi pegawai Pamong Praja India."

Benih kesetiaannya pada imperium Inggris tampak dalam cara Yusuf Ali menanggapi pujian Ampthill. "Tidak ada sesuatu pun," tegasnya, "dalam agama ataupun dalam sejarah kaum Muslim India yang dapat mencegah mereka untuk tidak mengambil tempat terhormat sebagai warga negara di sebuah Imperium yang bebas dan progresif."

Agra, 10 Januari 2016



Yusuf Ali mendapat Medali Perak Royal Society's Council pada pertemuan umum Juni 1907. Ini merupakan pengakuan terbuka yang sangat penting. Sebab lembaga itu menjalankan "peran yang paling bermanfaat dalam menyediakan kesempatan berdiskusi tentang masalah-masalah India--sering kali yang paling menyentuh kepentingan Imperium--di hadapan para hadirin yang tertarik dan berpengaruh."

Yusuf Ali juga diundang untuk menyampaikan enam kuliah di Passmore Edwards Institute, London. Sebuah buku lahir dari rangkaian kuliah tersebut, diterbitkan oleh John Murray di London pada 1907, Kehidupan dan Kerja Keras Penduduk India. Buku ini memuat persembahan yang melimpah untuk George Birdwood.

Lewat analisisnya dalam buku ini, Yusuf Ali menyerukan suatu pembaruan sosial. Landasan pembaruan itu harus disiapkan "dengan mengenyahkan faktor-faktor yang membutakan pandangan dan menyesatkan penilaian kita."

Yang paling utama dalam hal ini adalah aktivitas politik yang memanfaatkan agama. "Di tangan orang-orang seperti inilah kebencian agama dibangkitkan di kalangan rakyat Yang Mulia, yang setia dan taat hukum," katanya. Kesetiaan Yusuf Ali terhadap Imperium mendorongnya untuk memiliki pandangan apolitis dalam masalah agama.

Yusuf Ali pun dipandang kurang peka terhadap kepentingan kaum Muslim di negerinya. Dalam sebuah pidato yang disampaikan pada Perhimpunan Konstitusi Inggris di Whitehall Rooms dan diberitakan The Times pada akhir Januari 1907, Yusuf Ali menyatakan dukungan bagi "pendidikan sekular". Pernyataan yang tidak bijaksana untuk dikemukakan pada masa ketika kaum Muslim India sedang berkampanye untuk mendapatkan status universitas bagi Aligarh.

Kesetiaan tanpa syarat Yusuf Ali pada pihak kolonial Inggris menyulitkan dirinya sendiri ketika pecah Peristiwa Masjid Kanpur. Peristiwa ini terjadi karena James Meston, gubernur propinsi atasan Yusuf Ali, memutuskan untuk membongkar tempat wudhu dan kamar mandi umum masjid di bagian kota Machli Bazaar untuk kepentingan pembangunan jalan.

Posisi Yusuf Ali jadi sangat tidak mengenakkan: seorang pejabat tinggi Muslim dalam pemerintahan propinsi yang banyak dicerca karena kesewenang-wenangan dan kekejamannya. Yang barangkali paling memberatkan adalah posisinya sebagai orang kepercayaan Meston yang sangat dibenci.

Pembongkaran itu terjadi pada bulan Ramadhan, 1 Juli 1913. Pada malam 3 Agustus ribuan kaum Muslim berkumpul untuk melakukan unjuk rasa. Polisi menembak, membunuh enam belas orang, beberapa di antaranya di dalam masjid. Meston memberlakukan hukum kriminal yang akan membuat Muhammad Ali Jauhar dan pemimpin Muslim India lainnya, cendekiawan garis keras Abdul Kalam Azad, ditangkap jika ditemukan berada di Kanpur lagi.

Peristiwa Masjid Kanpur merupakan petunjuk penting yang menetapkan garis perpecahan antara kaum Muslim yang siap untuk mempertahankan hak mereka dan orang-orang yang lebih suka berdiam diri. Beberapa tahun kemudian, dalam sebuah artikel Yusuf Ali mengemukakan acuan sekilas tentang "masalah Masjid Kanpur dengan kaum Muslim," suatu pilihan kata-kata yang menandakan keterasingannya dari pendapat populasi Muslim dalam periode kehidupannya.

Sikap loyal Yusuf Ali agaknya merupakan cerminan harapannya akan sikap saling percaya dan saling menghormati antara Timur dan Barat. Dia bercita-cita menjadi jembatan antara India dengan dunia Barat, sebagaimana tampak dari pilihannya untuk menikahi seorang wanita Inggris pada 1900, Teresa Mary Shalders.

Tak pelak, ketika perkawinan itu harus kandas di tengah jalan pada 1912, Yusuf Ali pun merasakan luka trauma yang dalam, seperti diungkapkannya bertahun-tahun kemudian dalam pengantar edisi pertama tafsirnya, "Kehidupan seorang manusia dapat tertimpa badai batin yang jauh lebih menghancurkan daripada badai topan di dunia fisik... badai semacam itulah, dalam kesedihan pahit yang mendalam, yang nyaris menyingkirkan akalku dan membuat hidupku terasa tanpa makna."

Mungkin karena berbagai tekanan domestik dan publik inilah, pada Februari 1914 Yusuf Ali memutuskan untuk mundur dari jajaran Pamong Praja India. Setelah menyerahkan permintaan untuk mengundurkan diri, tapi tanpa menunggu turunnya keputusan menyangkut masalah pensiun yang layak, Yusuf Ali meninggalkan India menuju Inggris untuk mengawasi empat anak dari perkawinan pertamanya.

Kesetiaannya pada Inggris tak pudar. Pada 4 Agustus 1914 Inggris menyatakan perang terhadap Jerman. Yusuf Ali sedang berada di Sevenoaks, Kent. Pada 8 Agustus dia menulis kepada Kantor India: "Saya siap dan akan dengan senang hati menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas sementara, dalam kapasitas apa pun di mana saya dapat memberikan manfaat dalam Perang ini."

Sekali lagi dia menghadapi situasi sulit di hadapan kaum Muslim India, ketika Turki tak sengaja terseret ke dalam konflik ini pada sisi Jerman. Kaum Muslim India secara emosional terikat pada "Khalifah Islam" Utsmaniah. Ini merupakan kesetiaan yang sudah berurat-berakar yang juga dirasakan di kalangan orang-orang yang dianggap sudah terlalu Eropa seperti Hakim Ameer Ali.

Ketika Inggris menyatakan perang melawan Turki pada November 1914 Yusuf Ali, seorang "wakil dari masyarakat besar Muslim," merupakan aset paling berharga dalam perang propaganda untuk merebut opini publik Muslim India.

Dinginnya angin musim salju tahun 1914 dipadu dengan atmosfer perang di Inggris mungkin telah menggugah emosi yang sangat kuat dalam diri Yusuf Ali. Lewat pidatonya di Caxton Hall pada 23 November 1914, Yusuf Ali menampilkan diri sebagai seorang ahli propaganda dan mantan Pamong Praja India yang siap bekerja untuk kepentingan Inggris dan Sekutu.

"Bertempurlah kalian, para serdadu yang mulia, Gurkha atau Sikh, Muslim, Rajput atau Brahman! Bertempurlah demi nama India dan jadikan ia jaya dengan darah kalian! Kalian punya hak istimewa. Kalian mempunyai teman-teman di Angkatan Darat Inggris yang rasa persahabatan dan kepemimpinannya merupakan harta tak ternilai bagi kalian..." Demikian seru Yusuf Ali di hadapan Angkatan Darat India.

Yusuf Ali terlibat dalam propaganda imperium Inggris hingga 1920. Pada tahun yang sama dia menikahi Gertrude Anne Mawbey, yang diberi nama Muslim, Masuma, yang tak berdosa, suatu pilihan yang mengharukan mengingat ketidaksetiaan istri pertamanya. Dalam tahun-tahun berikutnya, Yusuf Ali mulai memperlihatkan perubahan pandangan terhadap Islam dan sikap politiknya.

Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"