Yusuf Ali: Suara Seorang Progresif (Bag. 3)

 

Lukisan kekaisaan Mughal


Suatu hari pada bulan Maret 1923, Yusuf Ali membaca sebuah naskah sejarah Mughal. Dari naskah itu dia mendapat kesan mendalam tentang seorang raja Islam di masa silam. Dia mengungkapkan kekagumannya pada Raja Babar dengan mengharukan, "...Kehidupannya yang keras diisi dengan kecintaan akan alam...Ketulusan jiwanya, dalam kekuatan dan kelemahan, bersinar dalam setiap halaman catatan pengungkapan-dirinya."

Jika sepuluh tahun yang lalu hanya Raja George V yang menjadi objek pemujaan Yusuf Ali, kini paling tidak dalam barisan pahlawannya termasuk seorang raja dari masa silam Muslim. Ini merupakan awal perubahan sikapnya terhadap Islam. Yusuf Ali mulai mengadakan kampanye yang halus namun gigih untuk membentuk cara berpikir kaum Muslim India.

Kesempatan pertama datang pada April 1923. Dalam Konferensi Pendidikan Muslim Punjab, dia mengemukakan analisis tentang pilihan-pilihan intelektual dan politis yang dihadapi kaum Muslim.

"Kita harus membuktikan melalui lembaga-lembaga dan tindakan-tindakan kita bahwa kita siap memodernkan dan mengembangkan pendidikan...membawa kaum cendekiawan Islam mengenal ilmu modern dari Barat, dan memberi kita rangsangan baru untuk memecahkan masalah sendiri, sosial maupun politik, dengan senjata pendidikan modern, dan metode-metode komunitas modern..."


Semangatnya tak berubah: menjembatani Islam dan Barat. Kerja sama semacam ini merupakan ciri pokok pandangan dunianya. Dalam salah satu bukunya, India dan Eropa, Yusuf Ali mengungkapkan pandangannya mengenai persahabatan spiritual yang dapat mempererat keselarasan.

Dia menulis, "Menurut pandangan saya, agama semua manusia yang berakal itu sama, betapapun besarnya perbedaan filosofi yang mereka gunakan untuk menjelaskan instink spiritual mereka, atau wadah-wadah tempat membentuk harapan-harapan spiritual mereka." Semangat ini membuatnya terlibat dalam Kongres Agama-agama Sedunia sepuluh tahun kemudian.


Raja George V pada tahun 1923. 
Wikimedia Commons


Pada 1925, Yusuf Ali mengorganisasi program publikasi Pamflet-pamflet Islam Progresif di London. Pamflet-pamflet itu berjudul Kebutuhan Terbesar Zaman Kita, Islam sebagai Kekuatan Dunia, Dasar-dasar Islam, dan Kepribadian Muhammad. Frase "Islam progresif" bagi Yusuf Ali mengacu pada kebutuhan akan kebangkitan kembali "intelek Islam." 

Dia melihat lembaga-lembaga dan pola-pola pemikiran Muslim telah hampir mati dan usang, tidak mampu menghadapi tantangan-tantangan zaman.

Inilah kerangka pemikirannya dalam karya literaturnya yang terbesar: terjemahan dan tafsir Al-Quran. Dari sini pula dia mengawali debutnya sebagai seorang intelektual Islam. Pada tahun itu dia juga menyumbangkan dua artikel pada Ensiklopedia Islam, untuk entri Khodja dan syeikh dari abad kesembilan belas, Karamat Ali Jawnpuri.

Tapi, pertentangan terhadap Yusuf Ali di dalam negeri kembali muncul dengan keterlibatannya dalam aktivitas Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa dipandang rendah oleh kaum Muslim India karena dianggap sebagai sarana pemecah-belah jazirah al-arab. Dalam sebuah puisi, Iqbal menggambarkannya yang penuh kemarahan sebagai "organisasi para pencuri kain kafan."

Pada Konferensi Pendidikan Punjab Desember 1926, Yusuf Ali justru memuji Liga Bangsa-Bangsa: "Liga Bangsa-Bangsa telah memimpin aksi internasional dalam berbagai masalah, dan secara material telah membantu menumbuhkan semangat kerja sama internasional yang pasti akan membawa lebih banyak negara menuju keselarasan antarbangsa." Pada 1928, Yusuf Ali terpilih sebagai wakil India dalam pertemuan LBB bersama Earl of Lytton, Nawab Palanpur dan Sir Kurma Reddi.

Loyalitas imperiumnya masih membara. Pada 1929 dia mendapat sponsor untuk mengadakan perjalanan demi propaganda Inggris ke "seluruh Amerika, Kepulauan Hawaii, Jepang, Cina, Filipina, Sri Lanka dan India." Pada tahun itu pula dia memulai penulisan kitab tafsirnya. Dalam kata pengantar untuk The Holy Qur'an - text, translation and commentary ada kisah mengenai naskah yang "dibawa ke sana-kemari, ribuan mil jauhnya, ke berbagai negara dan bangsa."

Lewat tafsir ini, Yusuf Ali juga ingin menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa di negeri-negeri Islam. "Bahasa Inggris," katanya, "barangkali merupakan ikatan paling hebat yang telah menyatukan seluruh bangsa India dan seluruh propinsi serta komunitas di India. Tanpa ikatan ini, federasi India hanya akan menjadi impian."

Ini adalah perasaan yang benar-benar tersimpan dalam kalbunya, yang menjadikannya mampu membuat pesan Al-Quran dapat ditangkap dalam bahasa Inggris. Sepanjang 1930-an hampir dapat dipastikan dia selalu membawa serta naskah terjemahan dan tafsirnya atas Al-Quran. Dia memanfaatkan seluruh waktu dalam perjalanannya yang tenang di atas kapal laut untuk bekerja tanpa terganggu.

Pada awal 1934, terjemahan dan ulasan Al-Qurannya mulai menampakkan hasil. Dia mulai memikirkan untuk menerbitkannya sebagian-sebagian. Di Lahore, Yusuf Ali bertemu beberapa pemuda yang meminta dia untuk cepat-cepat menerbitkan karya itu.

Satu bagian dalam kata pengantar edisi pertama menggambarkan jalan penerbitan tafsirnya, "Saya memang telah mempersiapkan beberapa bagian, namun bahkan belum satu sipara [sepertiga bagian Al-Quran] pun yang selesai. Mereka mendesak saya untuk berjanji menyelesaikan setidak-tidaknya satu sipara sebelum saya meninggalkan Lahore. Seakan-akan lewat sihir, seorang penerbit, seorang katib (ahli kaligrafi yang menulis teks bahasa Arab), seorang pembuat film, dan seorang pencetak berdatangan. Semuanya bersemangat untuk mempercepat penerbitan... saya berencana mengeluarkan satu demi satu sipara yang sudah siap, dengan jarak waktu tidak lebih dari tiga bulan."

Bukan kebetulan bahwa tanggal penulisan kata pengantar untuk edisi pertama itu adalah 4 April 1934, hari ulang tahunnya yang keenam puluh dua. Penerbit yang ditemukan oleh sahabat-sahabat mudanya adalah Syeikh Muhammad Asyraf dari Kashmiri Bazaar, Lahore.

Serial pertama dijual pada bulan Juni, seharga satu rupee. Sampulnya dari kulit berwarna biru muda dan hasil cetakannya sangat bagus. Halaman belakang dengan cerdik dimanfaatkan untuk mempromosikan karya itu: "Bukan khutbah Minggu yang membosankan, melainkan Karya Sastra Inggris. Tidak mengemukakan pandangan sektarian sama sekali... Teks bahasa Arab ditulis dengan blok foto yang indah di atas kertas mengkilap kualitas terbaik, cetakannya jelas dan enak dipandang."

Serial-serial selanjutnya terdiri atas kira-kira empat puluh halaman. Tak lama kemudian tinjauan-tinjauan yang bernada positif disertakan di bagian dalam sampul depan dan belakang. Tinjauan pers yang dimasukkan dalam serial keempat berasal dari koran setempat Lahore seperti Civil and Military Gazette dan Eastern Times, serta dari tempat-tempat yang lebih jauh seperti Bombay Chronicle dan Star of India dari Kalkuta.

Yusuf Ali bukannya tak menghadapi kritik. Seseorang bernama Durrani lewat koran Lahore The Light 24 Desember 1936 menyorot kemampuannya berbahasa Arab, "Dia menerbitkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, tapi saya mendapat informasi dari orang-orang yang mengenalnya secara pribadi bahwa dia tidak mengerti sepatah kata Arab pun, sehingga terjemahannya seluruhnya didasarkan pada terjemahan-terjemahan bahasa Inggris dan Urdu lain."

Sementara itu, naskah untuk kedelapan serial terjemahan Al-Quran yang masih tersisa telah selesai. Semua diserahkannya pada Syaikh Asyraf untuk diterbitkan dengan jangka waktu masing-masing satu bulan. Yusuf Ali hanya sekali menampakkan kegusarannya pada para kritikusnya di Lahore dalam serial terakhir yang terbit Desember 1937.

Dia berkata dengan sedih, "Saya tidak pernah membayangkan betapa banyak kecemburuan, kesalahpahaman dan kesalahtafsiran yang dapat membebani seseorang yang tidak pernah berusaha mengejar cita-cita duniawi dan tidak pernah berpura-pura menjadi penguasa dogmatik." Bagaimanapun, kini Yusuf Ali telah berhasil menuntaskan usaha kreatifnya yang terbesar.




Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"