Mencari Marwan




Malam telah larut. Semua orang sudah meninggalkan kafe itu kecuali seorang lelaki tua yang tampak begitu larut dalam pikirannya. Kepalanya tertunduk, satu tangannya menyapu bagian belakang kepalanya. Mungkin dia mengantuk, tapi tak ingin pulang, menghindari berhadapan kesepian, atau mungkin dia sedang sedih karena kehilangan anggota keluarga dalam sebuah musibah? Aku hanya bisa menebak.

Kudekati lelaki tua itu. Aku duduk di kursi seberangnya dan menawarkan minuman. Aku terkejut ketika dia mendongakkan kepala. Matanya sembab, air mata masih membasahi pipinya, dia menangis tanpa suara, menahan isak di tengah riuh kafe yang gemerlap ini.

Hampir tiap malam aku datang ke sini, tapi baru kali ini melihat bapak itu, dia bukan pengunjung tetap, bukan seorang dari kami. Aku ajak dia bicara, dengan enggan dia membuka mulut.

"Saya sedang mencari anak saya. Setelah ibunya meninggal barangkali dia mau tinggal bersama saya. Orang bilang dia sering datang ke sini."

Siapa? Aku tanya. 

Namanya Marwan. Berperawakan tinggi besar, tapi sudah lama dia tak bertemu anak itu sehingga tidak bisa menyebut dengan persis bagaimana tampangnya sekarang ini, brewokankah, klimiskah atau penuh bekas luka seperti seorang preman di kafe ini yang sering bikin onar. 

Lelaki tua itu terlalu sedih untuk bisa menjawab. Aku tak tahu seorang bernama Marwan di antara pelanggan kafe ini yang kukenal. Barangkali orang suka mengubah nama atau mempunyai nama panggilan yang sama sekali tidak mirip nama asli untuk menghindari malu, agar cela perbuatannya di luar tidak sampai melekat ke namanya yang asli. Semacam topeng juga.

Aku menawarkan diri untuk mengantarkan bapak tua itu pulang ke rumahnya. Dia tidak mabuk. Dia bukan pemabuk, katanya. Meski sudah hampir empat jam dia di sana, katanya tak sekali pun dia menyentuh minuman keras. Dia harap anak laki-lakinya yang cuma satu-satunya itu pun bisa menahan diri seperti dia. Tidak menyentuh minuman keras walaupun berada di tengah riuh rendah manusia yang mabuk-mabukan.

Marwan. Marwan, kata lelaki tua itu seperti orang tak waras. Tidak mungkin dia tidak mabuk, aku pikir. Bau alkohol menguap dari mulutnya. Belum lama istrinya meninggal, katanya. Tapi Marwan sudah lama tak pernah lagi mengunjungi mereka. Mungkin dia tak tahu kalau ibunya sudah tiada. 

Marwan, Marwan, katanya lagi, lirih seperti orang sedang berzikir memanggil nama Tuhan. 

Aku mulai takut kalau tiba-tiba dia ambruk, muntah, kemudian kehilangan detak jantungnya. Aku tak mau berjalan membawa orang mati. Barangkali baiknya aku panggil taksi. Tapi taksi tak mau mengangkut penumpang untuk jarak yang begitu pendek. Atau aku biarkan saja bapak ini berjalan sendiri ke rumahnya. Dia pasti masih bisa. 

Pelan-pelan aku lepaskan tangannya dari bahuku. Aku biarkan dia berjalan tanpa dipapah. Oleng. Kemudian terhuyung ke depan, hampir jatuh kalau tidak aku cepat-cepat menangkapnya. Aku pegang tangannya. Kepalanya tetap terkulai lemah sepanjang jalan itu.

Lampu-lampu di pinggir jalan berpendar seperti bola kristal terkena cahaya menyilaukan mata. Sisa hujan membuatnya berkilau, jalanan pun masih basah. Udara malam yang dingin membuat kantukku hilang. Aku suka udara malam sehabis hujan, terasa lebih segar dibanding udara pagi. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, satu dua mobil dalam jarak yang berjauhan. Jendela-jendela sudah gelap, orang-orang sudah lelap.

Sedikit lagi kami akan sampai di rumah yang ditunjuk bapak itu. Rumah tua besar yang tetap bertahan di pusat kota, di antara gedung-gedung baru yang menjulang tinggi, bersisian dengan sebuah supermarket besar dan berseberangan dengan sebuah gedung perkantoran gagah. Rumah kayu yang terlalu bagus untuk diruntuhkan, aku pikir kalaupun harus pindah karena peremajaan kota, rumah itu setidaknya dibiarkan utuh dan diangkut seperti adanya ke tempatnya yang baru di pinggir kota, seandainya itu memungkinkan. Tapi bagaimana pun tetap ada kesan angker seperti yang selalu melekat pada rumah-rumah tua yang besar.

Bapak tua itu terbatuk-batuk. Punggungnya berguncang. Duh, kenapa aku begitu peduli padanya, aku menggugat diri. Dia bisa kutinggal sendiri, bisa pulang sendiri, bisa mencari anaknya sendiri. Mengapa aku harus peduli. Aku sering digugat oleh perasaanku sendiri tiap kali melakukan sesuatu yang terasa berlebihan. Bukankah begitu kecenderungan kita. Segala yang berlebihan selalu terasa tidak baik. Aku merasa telah memberi perhatian yang terlalu berlebihan pada bapak ini, rasa iba yang tak pada tempatnya.

Marwan, marwan. Katanya lagi sambil naik ke teras rumahnya dan membuka pintu. Rumah itu gelap. Tampaknya memang tak seorang pun tinggal bersamanya dan rumah ini terlalu besar untuk dihuninya sendirian. 

Mungkin itulah yang membuat dia ingin segera menemukan anaknya, membawanya pulang dan mengurungnya di rumah ini. Aku tertawa sendiri, bukan mengurung, tapi membuat anak laki-laki itu mau tinggal bersamanya, menemani hari-hari tuanya di rumah besar ini setelah istrinya tiada. Tapi aku tak yakin apakah dia akan menemukan anak itu. Seorang anak laki-laki dewasa yang sering ke kafe tentu bukan jenis yang mudah untuk diminta kembali tinggal di rumah bersama ayahnya yang sudah tua. Aku berharap ada seorang sanak keluarga yang mau membantunya melupakan impian itu.

Kami tiba di depan pintu rumah. Selamat malam, Pak. Semoga Marwan segera pulang, kataku untuk menyenangkan hatinya. Aku sama sekali aku tak berniat masuk ke rumahnya. Aku ingin segera memanggil taksi dan pulang. 


Tapi tiba-tiba dia mencengkeram lenganku, begitu keras memeras ototku hingga sampai ke tulang. Lelaki tua yang tadi tampak begitu lemah dan nyaris tak sadar itu kini berubah seorang pegulat dengan kekuatan raksasa. Aku tak kuasa melawannya. Kutarik lenganku kananku, tangan kiriku bertumpu di kusen pintu. Dinding kayu rumah itu bergetar menahan dorongan tanganku. Cengkeramannya makin kuat. Aku ditarik masuk begitu tiba-tiba seperti debu tersedot vacuum cleaner. Pintu menutup. Ruang itu gelap seperti di dalam gua. Aku mencium bau rempah-rempah. Pala, cengkeh, kayu manis, jahe. Berbaur bercampur seperti di dapur restoran India. Hanya itu yang kuingat, sebelum kesadaranku hilang jatuh ke dalam sumur dalam.

Entah berapa lama waktu berlalu. Saat terjaga, aku masih memegang tanganku yang perih. Tubuhku yang terempas ke lantai keras terasa sakit. Aku mencoba berdiri. Tiba-tiba terang benderang. Mataku silau. Aku memandang ke sekeliling. Ruangan yang aneh. Tak satu pun perabotan di dalam ruang itu. Hanya lemari besar yang berjejer di kiri dan kanan dinding. Bapak tua itu juga tak terlihat. Tapi aku bisa mendengar langkahnya dari ruangan lain. Terdengar juga bunyi piring gelas beradu. Sebuah kesibukan di dapur. Sedang apa dia. Aku ingin lari. Udara di rumah ini terasa begitu lembab dan pekat, seperti tak pernah berganti bertahun-tahun. Barangkali bapak tua itu tak pernah membuka pintu dan jendelanya. Betapa pembebasan yang besar buat istrinya  untuk bisa meninggalkan rumah yang tak kalah mencekamnya dibanding kuburan ini. 

Semua suasana di sini membuatku bergidik. Aku bergegas ke arah pintu, mencoba membuka. Tapi tak bergeming, seakan-akan pintu itu menyatu dengan dinding.

Selamat malam, anakku. Suara serak si bapak tua mengejutkanku. Peluh membanjir di keningku. DIa terdengar begitu perkasa. Suara itu bukan berasal dari seorang lelaki tua ringkih. 

Aku tak berani berbalik dan menatap monster itu. Aku bertanya-tany apa yang akan dilakukannya padaku. Dalam hati aku meratapi habis-habisan mengapa jadi orang sok suci mau mengajak bicara dan membantu seorang lelaki tua yang pura-pura kesepian. Tapi mana aku tahu kalau dia sedang berpura-pura, kalau dia sebenarnya sedang butuh mangsa, seorang pemuda entah untuk apa.

Dia menepuk bahuku dari belakang. Mari, katanya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sosok yang lemah dan rapuh tadi kini telah hilang, berganti seorang pria setengah tua yang rapi dan kuat. Aku ikuti langkahnya melintasi ruang depan yang dijejeri lemari tinggi itu, masuk ke sebuah ruang tengah. Di meja telah terhidang minuman hangat. Di ruang ini juga ada beberapa lemari besar. Ada apa di dalamnya, aku penasaran.

"Aku harus mengucapkan terima kasih dan menjamu orang yang membantuku," katanya. "Mohon catatkan namamu di sini, supaya aku tetap bisa menyampaikan terima kasihku dengan menyebut namamu."

Aku menuliskan namaku di selembar kartu kecil, kemudian menyerahkannya kembali. Dia menyilakan aku minum. Aku mencium bau rempah-rempah itu lagi, makin kuat di ruangan ini. Barangkali berasal dari minuman itu. Aku angkat cangkir dan kuhirup dalam-dalam uap panas yang menari-nari di atasnya. Keteguk sedikit demi sedikit minuman yang lezat itu dan merasakan kehangatannya menjalar ke seluruh tubuh.

"Sekarang engkau telah menjadi Marwan. Aku ingin kau tetap di sini, anakku." Aku terkejut, pelan-pelan aku merasa seperti bergerak dari satu kesadaran ke kesadaran lain. Aku merasa menjadi orang yang berbeda. 

Dia membawaku ke sebuah lemari besar, mendorongku masuk ke dalamnya. Kartu yang bertuliskan namaku dimasukkannya ke saku bajuku. Nomor lima belas tertulis di pojoknya. 

Kini tak ada lagi semangat pemberontakan dalam diriku. Aku merasa seperti telah mendapat kebahagiaan yang luar biasa. Barangkali itulah ucapan terima kasihnya, yang selalu sampai kepadaku setiap kali aku kembali masuk ke lemari itu di malam hari, bersama Marwan-Marwan lainnya. 



Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"