Bahasa Visual Sang Pelukis Gagal
"Aku seorang pelukis gagal, tapi sang pelukis tak pernah mati di dalam diriku."~Orhan Pamuk
Pada akhir Oktober 2019 di Sharjah, UAE, saya sempat mengikuti acara talk show yang menghadirkan Orhan Pamuk di panggung Sharjah International Book Fair. Dia berbicara tentang apa alasannya menulis dan kebebasan berekspresi di Turki.
Di akhir acara, antrean panjang hadirin menunggu giliran untuk mendapatkan tanda tangan di buku-buku karya Pamuk yang sengaja mereka bawa. Orhan Pamuk tampak santai, dia bersedia melayani pembicaraan dan permintaan berfoto dengan ramah. Malam itu saya membangun kesan bahwa Orhan Pamuk adalah seorang penulis sukses yang tak berjarak dengan pembacanya. Seorang sastrawan kelas dunia yang tidak rumit dan pongah. Saya mulai mengumpulkan dan membaca karya-karya Pamuk sejak itu.
Belum lama ini, ketika sedang mencari info tentang novel terbaru Orhan Pamuk, saya terkejut mendapati bahwa dua buku terakhir Pamuk bukanlah novel, melainkan buku foto yang berjudul Balkon (2019) dan Orange (2020). Keduanya diterbitkan oleh Steidl, penerbit buku foto terbaik sedunia yang bermarkas di Jerman.
Ini unik, pikir saya. Jarang-jarang ada seorang novelis, yang reputasinya mendapat pengakuan tertinggi internasional berupa Hadiah Nobel Sastra (yang diraihnya pada 2006), juga merupakan seorang fotografer dengan dua buku di Steidl. Saya jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh latar belakang yang membawa sang penulis Turki paling populer itu ke arah baru ini.
Ternyata perubahan ini sebenarnya bukan hal baru bagi Pamuk. Berkarya lewat bahasa visual baginya seperti kembali ke panggilan jiwanya yang semula. Sejatinya ketika muda Orhan Pamuk bercita-cita menjadi seorang pelukis.
Orhan Pamuk lahir pada 1952 di Istanbul, "kota reruntuhan dan melankoli kehancuran imperium". Dia tak pernah tinggal di kota lain seumur hidupnya. Sejak usia 8 hingga 22, dia memiliki passion yang besar untuk melukis. Keluarganya mendukung studinya di bidang seni dan arsitektur. Namun, secara misterius kegairahannya untuk melukis tiba-tiba hilang dan Pamuk beralih ke menulis novel.
Apa yang membuatnya melakukan itu? Dalam berbagai wawancara, Pamuk mengatakan membaca banyak novel telah membuatnya berpindah dari melukis ke menulis. Pada usia 23 tahun, dia menemukan kegairahan membaca karya-karya besar sastrawan dunia.
"Saya membaca banyak sekali novel sampai saya gila. Persis seperti tokoh dalam novel saya The Silent House. Membaca novel telah mengubah hidup saya. Tolstoy, Dostoevsky, Thomas Mann, Borges, Calvino… Menemukan penulis-penulis ini, rasanya seperti pengalaman melihat laut untuk pertama kali dalam hidupmu. Kau terpaku di situ. Ingin menjadi seperti itu."
Jadi sebenarnya itu bukan misteri. Membaca novel telah membelokkan aspirasinya dari bahasa visual ke bahasa verbal. Novel pertamanya Cevdet Bey terbit tujuh tahun kemudian, pada 1982, dan hingga kini dia telah menulis lebih dari 20 novel. Banyak di antaranya meraih penghargaan internasional, telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 60 bahasa, dan terjual sebanyak lebih dari 13 juta eksemplar.
Meski demikian, sebenarnya Pamuk tak pernah benar-benar meninggalkan jiwa pelukis di dalam dirinya. Seni lukis dan kisah para pelukis menjadi tema yang sering muncul di dalam buku-bukunya.
Setelah sekitar sepuluh tahun memantapkan karier sebagai penulis, dia mulai ingin menulis tentang kegembiraan melukis, bagaimana rasanya saat pelukis membuat sapuan kuas di atas kanvas. Dari sini lahirlah My Name is Red (1988), yang menceritakan misteri terbunuhnya pelukis miniaturis Turki abad ke-16.
Pamuk suka menuliskan tentang hubungan antara kegembiraan melihat, dengan kegembiraan mengungkapkan dalam kata-kata apa-apa yang dilihat oleh mata. Agaknya dia melakukan ini sebagai kompensasi atas kegagalannya menjadi pelukis.
Sebagai penulis, Pamuk mengaku tak pernah mengalami writer's block karena selalu melakukan persiapan yang baik sebelum menulis. Outline yang detail membuatnya mudah berpindah ke bagian lain jika sedang macet. Namun tetap saja, menulis tak senantiasa mengalir lancar bahkan bagi seorang seperti Pamuk.
Pada akhir 2011, depresi dan kebuntuan dalam menulis telah membuatnya beralih ke keasyikan baru: memotret. Dari Desember 2011 hingga April 2012, dia secara obsesif mengambil 8,500 foto dari balkon apartemennya untuk mendapatkan pemandangan panorama kota istanbul, pintu masuk Bosphorus, kota tua, sisi Asia dan Eropa dari kota tersebut, perbukitan yang mengelilingi, dan gunung serta pulau di kejauhan.
Pamuk menyebut keinginan untuk memotret secara obsesif itu terkait dengan mood yang sedang dialaminya. Sekitar 500 di antara foto-foto tersebut yang kemudian diterbitkan Steidl dalam buku berjudul Balkon.
"Saya melihat kegalauan saya sendiri dalam lanskap kota ini, dan itu mendistraksi saya dari keadaan melankoli saya," katanya dalam acara peluncuran buku tersebut di New York.
Buku foto kedua Orange berangkat dari pengamatannya bahwa lampu jalan dengan cahaya oranye hangat, yang telah menjadi ciri khas di jalanan dan gang-gang kota Istanbul sejak dia kecil, perlahan mulai digantikan oleh lampu dengan sinar putih pucat yang dingin. Dia ingin mengabadikan ini sebelum pemandangan malam kota Istanbul sama sekali berubah dan orang-orang melupakannya.
Foto-foto dalam buku ini seluruhnya diambil pada waktu senja hingga malam hari dalam rentang waktu puluhan tahun, sebagai kegiatan rutin berjalan kaki yang dilakukan Pamuk setelah seharian menulis, termasuk untuk keperluan riset bukunya antara tahun 2008 dan 2014.
Dalam pengantar buku tersebut, dia menceritakan bagaimana foto-foto yang dimaksudkannya untuk merekam "cahaya oranye terakhir" di malam hari Istanbul, pada saat yang sama juga merekam kebangkitan nasionalisme di beberapa lingkaran masyarakat. Itu tampak melalui poster-poster dan bendera yang terpasang di rumah-rumah.
Dari jenis pakaian yang dikenakan orang-orang di jalanan, foto-fotonya merekam kebangkitan sentimen religius, jika dibandingkan dua puluh tahun lalu ketika polisi masih akan menangkapi orang-orang yang tidak mematuhi aturan mengenakan pakaian sekuler. Dan terekam pula peningkatan jumlah imigran Syria dari penampilan orang-orang yang berpapasan dengannya sepanjang perjalanannya memotret.
Kedua buku foto ini sesungguhnya masih konsisten dengan karya-karya Pamuk lainnya. Dia tetap bercerita tentang kota kelahiran yang dicintainya dengan nada sendu yang sama dengan novel-novelnya.
Bahkan sejalan pula dengan alasan yang disebut panitia Nobel dalam penganugerahan hadiah tersebut kepadanya: "Dalam pencariannya akan jiwa melankolis kota kelahirannya, dia telah menemukan simbol-simbol baru bagi budaya-budaya yang bertentangan dan saling berkelindan."
Sang pelukis tak pernah mati di dalam diriku, kata Pamuk. Dan sang novelis menggabungkannya dengan sempurna dalam karya-karyanya. Tak lagi melukis, bahasa visual fotografi kini menjadi pengobat bagi jiwanya ketika berhadapan dengan kebuntuan.
Meskipun dari sudut pandang fotografis, nada foto-foto dalam kedua buku ini cenderung monoton. Tak banyak variasi dalam perspektif, tak ada upaya untuk menjadi lebih dekat dengan objek yang difoto. Nilai pentingnya adalah pada soal dokumentasi.
Baiklah, mari kita nikmati dua karya ini, sambil menunggu karya berikutnya dari Pamuk, yang konon akan lebih banyak lagi menggabungkan kedua hal ini: kata dan foto.
Readings:
Komentar
Posting Komentar