"Memento Vivere"
John Willam Waterhouse, A Tale from the Decameron, 1916 |
Di kota Florence, Italia, tahun 1348. Wabah Bubonik sedang mencengkeram. Perkampungan kosong, kekacauan di mana-mana, rutinitas hidup sehari-hari telah ditinggalkan. Orang yang terdampak virus konon akan mendapati bisul tumbuh di selangkangan atau ketiak mereka, lalu bintik-bintik hitam di kaki dan tangan. Ada yang tampak sehat di pagi hari, tapi pada waktu malam sudah bergabung dengan leluhur mereka di alam baka.
Kematian begitu cepat terjadi, sering kali dalam kesendirian karena setiap orang harus menjauhi yang sakit agar tak terjangkit.
Sekelompok anak muda memutuskan pergi meninggal kota untuk melakukan karantina mandiri. Sepuluh orang, yang terdiri atas tujuh perempuan dan tiga lelaki, menyingkir ke luar kota untuk menghindari sengsara yang melanda, karena tak ada yang bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan tumpukan mayat-mayat terus bertambah dan mendengar kabar tentang siapa yang mati hari ini.
Yang mereka lakukan dalam masa pelarian dari kengerian itu adalah berbagi cerita. Selama sepuluh hari mereka bergantian bercerita. Sepuluh orang sepuluh cerita. Cerita-cerita lucu, sedih, konyol, dan tak satu pun berfokus pada soal wabah.
Inilah struktur cerita berbingkai dalam novel Decameron, novel yang ditulis oleh Giovanni Boccaccio pada 1353. Seratus cerita terkumpul dalam satu novel.
Novel ini kembali disebut-sebut selama masa pandemi Covid-19, karena kemiripan situasi kini dengan latar novel tersebut. Banyak orang mengambil inspirasi dari struktur ceritanya, membentuk kelompok-kelompok berbagi cerita semasa wabah.
Pada pertengahan 2020, novel yang telah berusia hampir 700 tahun ini menjadi topik trending di Twitter dan menduduki posisi pertama dalam daftar buku terlaris Amazon untuk kategori sastra Italia.
Novel Decameron memperlihatkan bagaimana manusia menggunakan cerita sebagai wahana untuk berlayar melewati masa-masa sulit. Cerita membawa pikiran kita sejenak menjauh dari kekalutan, menghibur diri, dan memulihkan kekuatan untuk kembali menghadapi kenyataan.
Cerita juga membantu untuk bertahan hidup. seperti dalam dalam Kisah Seribu Satu Malam. Kumpulan cerita rakyat dari negeri Arab ini mengisahkan bagaimana Syahrazad terhindar dari eksekusi oleh Raja Syahryar di Persia dengan menjalin cerita bersambung untuknya malam demi malam.
Syahrazad yang cerdik dengan sengaja membuat ujung cerita menggantung, sehingga Raja membiarkannya hidup sehari lagi demi mendengarkan kelanjutan cerita keesokan hari. Syahrazad selamat dari pemenggalan lantaran rangkaian kisah yang diramunya untuk sang Raja. Di malam terakhir, Raja menyadari keangkuhan dirinya, dan membebaskan Syahrazad dari ancaman eksekusi.
Ferdinand Keller, "Scheherazade und Sultan Schariar" (1880) |
Kisah Decameron dan Syahrazad memiliki kesamaan dalam soal menggunakan cerita untuk menjaga semangat bertahan hidup, menumbuhkan kekuatan untuk melewati hari-hari yang berat. Cerita-cerita memiliki kekuatan seperti itu karena kita sebagai penikmat cerita sering kali tak mampu menahan diri dari larut dalam emosi, rasa ingin tahu, dan ketegangan yang dimunculkannya. Sering kali tanpa sadar kita tertawa, terisak, termangu saat mengikuti alur sebuah cerita. Efek seperti ini menimbulkan ketagihan. Kita ingin mendengar atau membaca lagi kisah lainnya, mencari lagi cerita-cerita yang mampu membawa kita melampaui keberadaan kita yang terbatas.
Cerita membuat kita mengalami banyak kehidupan, membawa kita mengalami peristiwa yang barangkali mustahil terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Cerita mampu membangkitkan empati. Orang yang banyak membaca fiksi, konon, memiliki kemampuan berempati yang lebih besar daripada yang tidak. Cerita membawa kita menyelami kehidupan orang lain. Seperti ujar George R. R. Martin melalui karakter Jojen dalam buku A Dance with Dragons: "Seorang pembaca mengalami ribuan kehidupan sebelum ia mati."
Kita suka bercerita secara lisan maupun lewat tulisan dan menikmati cerita sebagai pendengar ataupun pembaca. Di lingkungan keluarga dan sahabat, cerita mempererat hubungan, mendekatkan hati, membantu mengenang masa lalu. Mungkin itu sebabnya anak-anak suka minta diceritakan kembali kejadian-kejadian dari masa kecil mereka. Meskipun sudah diceritakan berulang kali, mereka tak pernah bosan. Derai tawa atau rasa sedih tetap muncul seperti ketika pertama mendengar. Buku cerita favorit anak-anak saya saat mereka balita, hingga kini sesekali mereka masih minta untuk dibacakan ulang dengan gestur dan intonasi yang sama. Cerita dan buku cerita membuat mereka terhubung dengan diri mereka yang lama, mengingat kesenangan yang lama untuk meringankan ketegangan.
Setelah dua minggu karantina, sepuluh tokoh Decameron kembali ke kota Florence. Setelah seribu satu malam, Syahrazad mendapatkan kebebasan dari ancaman pemenggalan. Cerita telah membebaskan mereka dari beban yang menekan.
Pada akhirnya setelah cerita-cerita menghanyutkan kita dalam imajinasi dan pengalaman fantastis, kita akan kembali kepada kehidupan nyata namun dengan pandangan yang lebih luas, hati yang lebih lapang, tenaga yang kembali pulih.
Memento vivere, itu barangkali pesan yang disampaikan secara terseirat dalam cerita semacam ini. “Ingatlah bahwa kau mesti tetap hidup,” betapa pun pandemi memberatkan langkah, menghadangkan ancaman terhadap kehidupan.
Di tengah segala cobaan itu, jika ada kesempatan bercerita, gunakanlah. Jika ada yang sedang bercerita, jadilah pendengar (atau pembaca) yang memberi perhatian penuh. Agar kita tak jadi letih berkubang dalam ruang hidup yang sempit.
Aini selalu suka cerita Kak Yuli yang menyajikan sudut pandang dan sisi bijak dari setiap buku yang Kak Yuli baca, buku apa pun itu seperti menyajikan kebajikan yang banyak sekali, sesuatu yang bahkan Aini sendiri tidak memikirkan hal itu kalau Aini yang membaca buku tersebut.
BalasHapusTerima kasih, Aini 😊
HapusI like to see a masterpiece of italian literature here! Well done 👍
BalasHapusYes, it is, thanks a lot 😊
Hapustrims for sharing...
Hapusmenarik dan menginspirasi, trims sharingnya..
Hapus