Agra


Saya teringat lawatan ke Agra. Tersimpan jauh dalam lipatan waktu, seketika tampil utuh dalam ingatan. Singkat namun membekas dalam.

Masih subuh ketika kami mengawali perjalanan. Beranjak dari New Delhi kala langit timur mulai merona merah muda. Udara Januari dingin berdebu. Kabut bercampur butiran jelaga, sejak pagi melekatkan daki di kulit memedihkan mata.

Orang-orang berjalan berkelimun sarung, berlindung dari gigil dan jerebu. Bentang di hadapan berwarna kusam.

Tak berapa lama kemudian, saya melihat Taj Mahal pertama kali. Bangunan pualam putih menyilaukan, bagai bawang besar berdiri anggun dalam simetri sempurna. Ke arah mana pun menghadap, kau menampak pantulan belahannya. Seolah-olah Shah Jahan ingin berkata, hanya aku yang layak ada dalam semestamu, wahai Mumtaz!

Saya melihat Taj Mahal pertama kali. Berdiri di tengah tanah gurun, menjulang dalam keindahan yang mengundang decak pujian. Tak pelak, rasa kagum muncul tak tertahankan. Segala keluh perjalanan terlupakan.

Di Agra, monyet dan sapi bebas berkeliaran. Menggerayangi kota yang tampak lusuh digerus zaman. Tapi tidak dengan Taj Mahal. Waktu mengabadikan kemegahannya. Kian bertambah usia, kian bersinar pesonanya. Setiap jengkal diusap, dirawat secara bertahap sepanjang waktu, agar putih pualam tetap tak bernoda seperti aslinya. Taj Mahal, bukankah ia perlambang cinta yang ditekadkan untuk dijaga selamanya.

Di Taj Mahal, kita bertanya. Adakah dalam hidup kita, cinta setara yang demikian besarnya, yang ingin mendominasi seluruh perhatian. Tapi cintakah itu, yang ingin kau tunduk jatuh dalam kekangan. Tidak. Bagi saya itu lebih mirip ketakutan.



Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"