"Jurnal Banda": Dokumenter Tanah Pala



Banda adalah nama yang kerap muncul dalam pelajaran sejarah Indonesia. Bicara sejarah Indonesia pasti tidak bisa lepas dari membicarakan tentang Banda, karena gugus kepulauan di bagian timur Indonesia ini merupakan alasan bagi kedatangan para penjelajah laut dari negeri-negeri Barat yang kemudian menjadi penjajah. Di kepulauan inilah tempat asal rempah yang pada abad pertengahan dihargai setara emas dan menjadi komoditas penting perdagangan dunia masa itu: Pala.

Banda pada abad ketujuh belas menjadi perebutan antara negara-negara adidaya di zaman pelayaran samudra: Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris. Belanda berhasil menguasai Banda pada tahun 1621, membantai ribuan penduduk asli. Mereka memonopoli perdagangan rempah dan mendirikan tak kurang dari dua belas benteng di kepulauan Banda, menunjukkan pentingnya posisi gugusan pulau kecil ini  sebagai penopang kekuatan ekonomi kerajaan Belanda. 


Pada 1810, Inggris merebut Banda dan mematahkan monopoli Belanda. Inggris lalu menyebarkan benih pala untuk ditanam di tempat-tempat lain seperti Bengkulu, Penang, Singapura, Srilanka. Sejak itu pala ada di mana-mana. Harganya turun menjadi setara dengan rempah-rempah lainnya. Banda pelan-pelan memudar dan tersimpan dalam lipatan catatan sejarah yang penuh darah.

Jurnal Banda (The Banda Journal) adalah sebuah karya dokumenter, hasil kolaborasi fotografer Muhammad Fadli dan penulis teks Fatris MF. Buku ini merupakan dedikasi berstamina tinggi untuk meninjau jejak sejarah yang tertinggal dari masa kejayaan Banda dahulu sebagai pusat perdagangan rempah dunia, hingga kini menjadi tempat terpencil yang sepi dan terlupakan di timur Nusantara. 






Diawali dengan cerita tentang beratnya perjalanan laut yang harus mereka tempuh untuk tiba di Banda, dihadang badai dan ombak ganas, melalui paduan foto dan teks, buku ini mengantarkan kita menjejak sudut-sudut kepulauan Banda, secara historis dan geografis. Foto pertama yang menyapa kita adalah puing gerbang perkebunan pala bertuliskan "Welvaren" yang berarti kemakmuran dalam bahasa Belanda. Kita tahu dari cerita dan foto-foto berikutnya bahwa kemakmuran bukan sesuatu yang akan kita temui di tanah Banda saat ini.

Aktivitas warga terutama berkisar pada perkebunan pala atau menjadi nelayan. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh warga Kepulauan Banda selain kedua hal itu. Kota-kota berisi bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial. Kebanyakan dalam kondisi rapuh dan tak terurus. Kesan yang tertangkap  adalah kota tua dan sunyi. 





Buku ini tampil dengan desain tata letak yang berani. Teksnya memenuhi halaman hingga menyisakan hanya sedikit margin. Ukuran huruf besar. Taburan kutipan yang muncul di setiap beberapa halaman menggunakan font lebih besar dan dicetak tebal. Setiap bab ditampilkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Teks berbahasa Inggris seluruhnya dicetak tebal. 

Buat saya awalnya  tata letak ini mengejutkan dan agak mengurangi kenyamanan membaca. Selain itu, caption foto diletakkan vertikal sehingga untuk membacanya kita perlu menekuk leher atau memutar halaman. Caption foto akhirnya saya abaikan, baru dibaca pada saat lain secara terpisah.

Beruntung, teks ditulis dengan sangat baik oleh Fatris. Narasinya mengalir lancar. Banyak menggunakan metafora yang bagus, beberapa narasi nostalgis Banda ditulis dalam gaya bahasa puitis. Fakta sejarah diselipkan ke dalam cerita dengan mulus, tidak terasa berat untuk dibaca. Fatris seorang jurnalis lepas yang sebelumnya sudah menulis tiga buku.






Foto-foto dari Muhammad Fadli, yang sebelumnya telah membuat buku foto lain berjudul Rebel Riders, merekam sisi kehidupan Banda yang lebih mendalam. Selain pekerja kebun dan nelayan, kita melihat  ada juga penambang batu vulkanik di lereng Gunung Api Banda, anak-anak sekolah, bangunan terlantar, satu-satunya tungku pengeringan pala di Banda milik Pongky, koleksi museum Banda, juga bekas kantor Banda Permai. 

Sampul depan buku ini atraktif, berlapis lembaran merah yang dibuat seperti fuli, kulit luar biji pala. Penjilidan secara swiss binding, dengan punggung dan sampul depan tidak menempel ke bundel halaman buku. Benang jilidan dibiarkan terlihat terbuka.  Mungkin ada tujuan artistik, tapi sekaligus memunculkan kesan finishing yang tak sempurna. 



Membanggakan melihat buah kerja dua kolaborator ini, yang secara mandiri menghasilkan karya dokumenter jangka panjang yang hebat. Saya ingin menyebut buku ini dedikasi berstamina tinggi, karena mereka berdua melakukan perjalanan ke Banda bolak-balik selama tahun-tahun pengerjaan buku ini, melakukan riset, mengambil gambar situasi kehidupan masyarakat saat ini, mewawancara, hidup di tengah komunitas dan bahkan mengajar di sekolah di sana. Karya ini melengkapi dokumenter mengenai Banda sebelumnya dalam bentuk film yang dibuat oleh Jalur Rempah Nusantara.

The Banda Journal adalah sebuah karya yang layak mendapat dukungan. Bentuk dukungan yang dapat saya berikan setidaknya adalah dengan membeli buku ini dan menuliskan ulasannya. Semoga Fadli dan Fatris menginspirasi karya-karya dokumenter lainnya mengangkat banyak aspek menarik kehidupan di Indonesia.



The Banda Journal
Muhammad Fadli (fotografer) & Fatris MF (penulis)
Format: Softcover dengan Swiss Binding
Ukuran: 16,5 x 24 cm
Tebal: 240 halaman
Bahasa: Indonesia dan Inggris (bilingual)
ISBN: 978-1-7354521-0-4
Penerbit: Jordan Jordan Edition
Harga: IDR 379.000


Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"