Angsa Liar (Mori Ogai)


Novel ini adalah sebuah cerita yang dikisahkan narator kepada kita 35 tahun setelah kejadiannya. Tentang apa yang dialami teman satu kosnya saat mereka masih mahasiswa di Universitas Tokyo. Peristiwa terjadi satu tahun sebelum kebakaran besar menghanguskan rumah kos mereka. Tahun 13 Meiji, atau 1880 Masehi.

Narator yang tidak kita ketahui namanya menyusun cerita dari dua sumber. Pertama, dari pengamatannya atas teman satu kosnya, Okada, seorang mahasiswa atletis yang tampan. Kedua, dari yang diceritakan langsung kepadanya oleh tokoh perempuan dalam cerita ini, Otama. 

"Dua gambar yang berada di kanan dan kiri dapat dilihat sebagai satu gambar, maka hal-hal yang kusaksikan dahulu kala serta hal-hal yang kudengar di kemudian hari telah berhasil disatukan hingga terbentuklah kisah ini" (h. 144).

Yang tersaji adalah sebuah kisah sentimental tentang harapan cinta seorang perempuan muda yang berstatus gundik simpanan seorang rentenir setengah baya, kepada seorang mahasiswa rupawan yang sering dilihatnya lewat di depan pintu rumahnya.  




Angsa Liar adalah roman klasik Jepang yang pada awalnya tampil sebagai cerita bersambung, kemudian terbit dalam bentuk novel pada 1911. Ditulis oleh Mori Ogai, nama pena seorang novelis, penyair yang juga merupakan ahli bedah Tentara Kerajaan Jepang, Mori Rintaro. Edisi Indonesia terbitan Moooi Pustaka (2019), diterjemahkan dengan sangat baik oleh Ribeka Ota, penerjemah kelahiran Jepang yang sudah tinggal di Semarang sejak 1995.

Novel ini bertutur secara memikat namun sederhana. Kalimat-kalimatnya ringan saja mengalir dari penutur cerita, tanpa banyak kerumitan sehingga seluruh alur dapat dengan mudah diikuti. Kita mendengar dia mengisahkan pengamatannya tentang Okada sang anak kos teladan, yang suka berjalan-jalan sore, melewati tanjakan Muenzaka, mengunjungi toko-toko buku bekas di sekitar Ueno dan Kanda. Walaupun mereka berdua tinggal di tempat kos yang sama, perkenalannya dengan Okada terjadi lantaran seringnya mereka bertemu di toko buku bekas dan mengincar buku yang sama, novel Cina klasik Jin Ping Mei.

Dalam salah satu episode jalan kaki sore itulah Okada pertama kali menangkap sosok wajah Otama di jendela rumahnya, tersenyum dan bertukar pandang tanpa pernah benar-benar sempat berbincang dan bertemu muka sampai akhir cerita. Otama, yang dari caranya berpakaian dapat diduga merupakan seorang gundik, tidak pernah dipandang rendah oleh Okada. 

"Setiap kali Okada pergi berjalan-jalan dan melewati rumah itu, dia hampir selalu melihat wajah perempuan itu. Bahkan perempuan itu sekali-kali menyusup ke wilayah imajinasi Okada dan semakin lama semakin merajalela" (h. 9) 

Narasi tak pernah menjangkau terlalu jauh ke dalam imajinasi ini, hanya menyentuh secara halus permukaan emosi mereka, ditambah deskripsi masyarakat dalam dua tatanan berbeda yang masih terbelah tajam pada masa itu, kaum intelektual baru yang modern dan warga sekitar mereka yang tradisionalis. 





Dari kisah klasik ini kita mendapatkan gambaran tentang situasi kehidupan sosial masyarakat Jepang pada awal masa modernisasi, ketika kelompok intelektual sedang bergairah mengejar pendidikan di Barat, sementara pada saat yang sama gaya hidup lama masih mengekang kaum perempuan yang dengan mudah dikawini, lalu ditinggalkan, atau dijadikan gundik dengan imbalan pembebasan utang orangtua mereka.

"Angsa yang malang," gumam Okada seolah berkata pada dirinya sendiri. "Aku hanya melempar batu ke arah sekitarnya" (h. 134)

Ucapan Okada ini seperti kiasan bagi apa yang dilakukannya kepada Otama, sekadar melemparkan batu yang kemudian menimbulkan riak yang menjalar jauh ke dalam kalbunya, membuatnya berharap untuk dapat menautkan hatinya pada Okada. Tapi Okada tak berniat begitu. Dia meninggalkan Tokyo untuk melanjutkan studi medis di Leipzig. Otama tetap berstatus gundik bagi seorang rentenir, yang disimpan di sebuah rumah terpisah.

Kita mengikuti cerita dalam susunan kata yang tetap terasa sederhana menghanyutkan hingga pada bagian akhir seolah-olah mendekat ke momen pertemuan mereka namun tak pernah kesampaian. Okada mendapat kesempatan belajar ke Jerman, berangkat tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Otama yang barangkali masih menunggu wajahnya muncul kembali mengirimkan tatap dan senyum dari balik jendela.

Di bagian akhir, narator mewanti-wanti pembaca untuk tidak menebak apakah dirinya yang kemudian jatuh hati pada Otama. Agaknya dia telah menduga bahwa sejak awal kita telah berasumsi Mori Ogai sedang bercerita tentang dirinya sebagai Okada. 
 


Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"