Setelah "Dunia Sophie"

 




Saya bayangkan Jostein Gaarder mirip Pangeran Kecil dalam cerita karangan Antoine de Saint-ExupĂ©ry, Le Petit Prince.  Saat kanak-kanak, Gaarder sering merepotkan orang dewasa di sekitarnya dengan berbagai pertanyaan mendasar yang sulit dijawab. Dia suka mengamati langit malam dan bertanya-tanya tentang alam semesta.

Dia bertanya, dari mana dunia ini berasal, adakah ada berasal dari tiada, dari mana datangnya bayi-bayi yang baru lahir. Tak selalu mendapatkan jawaban, malah orang dewasa sering menepiskan rasa ingin tahu kanak-kanaknya dengan menganggap pertanyaan itu tidak penting dan harus cepat-cepat dilupakan saja.

Namun Gaarder terus membawa ketakjuban naif masa kecilnya hingga dewasa. Sebagian buku yang ditulisnya berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Buku pertamanya, Dunia Sophie yang terbit pada 1991, dengan jelas menampakkan kecenderungan itu.

Melalui tokoh-tokoh remaja dalam novel itu, dia menyampaikan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang diri dan alam semesta "Siapakah kamu", "Dari manakah datangnya dunia". Dengan pertanyaan-pertanyaan itu Sophie memulai penjelajahan menelusuri sejarah dan panorama filsafat Barat yang panjang.

Karier Jostein Gaarder sebagai guru filsafat sekolah menengah membuatnya piawai menyampaikan pesan dalam cara yang sesuai untuk level pembaca remaja. Dunia Sophie tetap menjadi novel pengantar filsafat yang terlaris hingga saat ini. 





Tiga puluh tahun lewat sudah. Dunia banyak berubah. Pertanyaan bertambah. Jostein Gaarder menyadari itu, dan dengan kejernihan hati dan semangat berpikiran mudanya, dia mengajukan pertanyaan baru, yang agaknya belum terpikirkan pada tahun 1991, ketika menulis Dunia Sophie.

Kesadaran ini muncul saat dia membuka-buka kembali halaman buku itu, dan seketika menyadari ada sesuatu yang kurang.  

"Sejujurnya, itu terasa seperti membuka sebuah ruang besar dan kosong di dalam diriku, dan aku pada akhirnya harus menyadari bahwa ada sebuah pertanyaan filsafat penting yang sama sekali belum kusentuh, mungkin pertanyaan yang paling penting."

Gaarder menemukan satu pertanyaan filsafat terpenting untuk masa kita, sebuah pertanyaan yang sangat relevan untuk zaman kita yang ditandai dengan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Menurut Jostein, pertanyaan ini adalah sebuah problematika filsafat moral karena kewajiban kitalah sebagai manusia untuk menjamin masa depan generasi penerus dan peradaban kita sendiri.




Untuk itu dia menulis sebuah buku baru berjudul Kitalah yang Ada di Sini Sekarang, yang berbicara untuk generasi yang sepantaran dengan enam cucunya: Leo, Aurora, Noah, Alba, Julia, dan Máni. Rentang usia mereka mulai dari beberapa minggu hingga hampir lebih delapan belas tahun. 

Lewat buku ini Opa Jostein menyampaikan kegundahannya tentang dunia seperti apa yang akan mereka tinggali di penghujung abad ini, ketika cucu-cucu tercintanya telah dewasa. Bumi seperti apa yang kita wariskan untuk generasi mendatang.

Jostein menyuarakan kegamangan kita semua berhadapan dengan keterbatasan umur manusia, tentang pentingnya kepercayaan kepada Yang Gaib. Dalam beberapa bagian, Jostein menunjukkan sisi ruhaniah dan ketulusan empatik. 

"Hidup ini hanya pinjaman," tulisnya, "kita saling memiliki di sini pun hanya pinjaman." 

"Dunia ini bukan tempat permanenku. Yang kupunya hanyalah sebuah ikatan sementara dengan dunia ini selama masih ada. Selama aku masih ada."




Buku ini ditulis dalam gaya surat dari seorang kakek untuk cucu-cucunya. Surat pribadi yang juga dimaksudkan untuk dibaca banyak orang. Ini bukan pertama kalinya Jostein menulis buku dalam gaya bersurat seperti ini. Beberapa bukunya terdahulu juga ada yang berbentuk demikian, tapi ditujukan kepada tokoh-tokoh rekaan.

Baru kali ini Jostein untuk menulis sepucuk surat terbuka kepada orang-orang nyata yang hidup hari ini. Kepada enam cucunya. Banyak sapaan sayang untuk mereka, kata-kata lembut yang menentramkan pembaca, tapi juga menggelitik dan membukakan mata dalam gaya tutur sang kakek brilian. 

Tentu dengan harapan akan menyentuh secara halus bagi para pembacanya akan pertanyaan filsafat paling mendesak untuk zaman kita. Jostein Gaarder, seperti Pangeran Kecil, mengajak kita menjaga satu-satunya planet kecil tempat kita semua ada hari ini.


(c)Irwan Syahrir
Jostein Gaarder pada acara book-signing buku terbaru di Oslo, 4 Oktober 2021 (Foto: Irwan Syahrir)



Komentar

  1. Pengantar yang bagus, bu Yuli :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca. Terima kasih juga untuk terjemahannya yang baik dan super ekspress đź‘Ť

      Hapus

Posting Komentar

Populer

Khaled Hosseini: Membebaskan Emosi Melalui Novel

Tiga Penyair Membuka Jaktent

"Memento Vivere"