Gaza: Api yang Tak Padam
Menjelang tidur, saya memikirkan bagaimana Rahaf, Hosam, Karima, akan melewatkan waktu malam ini. Mereka baru saja tiba kembali di Gaza utara setelah pintu lintasan Netzarim akhirnya dibuka pada 26 Januari 2025. Mereka berjalan kaki sejauh tujuh kilometer sambil membawa beban berat barang-barang yang tersisa dari tenda pengungsian yang kelima di selatan.
Di ujung perjalanan, yang mereka temukan adalah dinding-dinding rumah telah rubuh, atap runtuh, semua kenangan dan perabotan berkeping tak berbentuk. Suhu di malam hari masih sekitar 10 derajat. Saya membayangkan dinginnya suhu di angka itu. Bagi makhluk tropis seperti saya, itu tentu sudah sangat menggigilkan untuk dilewati di udara terbuka. Akankan mereka menemukan tempat berlindung malam ini. Kantuk menyergap, membawa pikiran itu ke alam mimpi.
Terbangun di pagi hari, pikiran saya kembali tertuju pada Rahaf, Hosam, dan Karima. Saya mengenal mereka lewat instagram. Saling follow dan berkirim pesan. Mereka yang pertama menyapa, bercerita, membagikan link donasi. Kadang mereka menelepon, dengan bahasa inggris yang terbata-bata , "Message, message, please open message." "Please donate if you can." Terbaca sebersit rasa malu mereka untuk meminta, tapi musibah yang luar biasa tak tertanggungkan telah memaksa. Sesekali dalam video call, wajah anak-anak tampak lusuh, tapi tetap ada senyum dan penerimaan di matanya. Saya mencoba membalas dengan bahasa arab ala kadar sepatah dua patah, bertanya kabar dan nama, mereka senang mendengarnya.
Tapi bagaimana mereka melewatkan malam tadi. Adakah yang datang membawakan air minum setelah berjalan sejauh itu, setelah mereka tiba dalam keadaan letih dan merana. Malam ini, apakah mereka mendapatkan tempat berlindung dari dingin dan angin menusuk?
Di instagram, saya melihat foto beberapa orang yang telah tiba kembali di Gaza utara, berkumpul di depan api unggun kecil yang dibuat dari potongan kayu dan kertas. Mereka duduk merapat mengerubungi sumber cahaya dan sedikit kehangatan. Saya berharap api kecil itu, entah bagaimana cukup membantu mereka melewati malam gelap menggigilkan.
Saya merasakan penderitaan mereka menjalar di balik kulit saya. Rasa dingin yang menggigit, tusukan lapar dan dahaga, sedih yang mengeringkan airmata. Tapi malam ini tampak berbeda, setidaknya ada kebahagiaan karena telah kembali ke rumah meski tinggal puing, kembali ke wilayah tempat mereka melewatkan masa kecil meski semua kenangan musnah. Kembali, pokoknya, meskipun banyak anggota keluarga dan tetangga yang tak dapat dihadirkan kembali. Malam ini, mereka lebih bahagia, karena setidaknya dapat melewatkan malam tanpa gangguan dengung drone dan ancaman bom dijatuhkan di atas mereka.
Esok, Israel boleh saja kembali menjatuhkan bom di atas mereka, tapi hari ini mereka telah menang. Kebohongan dan penyangkalan akan genosida boleh saja terus dilancarkan, tapi kebenaran akan tetap berjaya, tak tergantung pada apa yang mereka dustakan.
Malam ini, mereka menang. Bukan karena pertempuran usai, bukan karena luka telah sembuh, bukan karena rumah kembali utuh. Tapi karena mereka masih di sini. Karena di antara puing dan dingin, mereka masih bisa berkata, "Kami pulang."
Sejarah telah mencatat banyak kehancuran, namun juga mencatat keteguhan. Dan di Gaza, keteguhan itu bertahan di setiap langkah kecil yang menapaki tanah yang luluh, di setiap senyum anak-anak yang belum mengenal putus asa, di setiap api kecil yang menyala, menolak tunduk pada kegelapan.
Kita yang jauh hanya bisa mengirim doa dan dukungan, tapi mereka yang bertahan mengajarkan kita arti sejati dari harapan. Bahwa sekalipun dunia memilih bungkam, sekalipun keadilan terasa begitu jauh, masih ada mereka yang tidak menyerah. Dan di dalam keberanian mereka, sesungguhnya, terletak kemenangan yang tak bisa dirampas.
Komentar
Posting Komentar