Umak
Umak berangkat pagi-pagi. Pukul enam, ketika kedua jarum jam bertaut lurus ke atas. Lurus seperti jalan hidup beliau. Umak pergi tanpa pesan, tanpa pertanda. Atau, barangkali, kitalah yang tak cukup waspada membacanya.
Tarikan napas terakhirnya seperti helaan panjang seorang yang lega — lega karena telah menunaikan tugas hidup sebaik-baiknya. Lega untuk menghadap Sang Pencipta, yang senantiasa dirindukannya.
Umak pergi pagi sekali. Usai menunaikan shalat subuh, dengan wudhu yang masih terjaga. Saat bangun tidur, tarikan napasnya terdengar berat, yang kukira hanya pilek atau asma biasa.
“Kita berangkat jam enam, ya?” begitu tanyanya saat terbangun pagi itu.
“Ya,” jawabku membenarkan, “kita harus siap-siap.”
Aku menyangka itu sekadar konfirmasi tentang rencana perjalanan kami ke Payakumbuh. Pukul enam, kami memang berencana untuk berangkat dari rumah.
Umak berangkat pagi-pagi. Aku bersyukur dapat mendampingi tarikan napas terakhirnya. Tak menduga kepulanganku ke Padang untuk bertemu menjelang bulan puasa adalah kedatangan yang dinantinya sebagai momen perpisahan.
Tapi siapa yang bisa menduga bahwa pagi itu adalah kepergian yang sesungguhnya?
Bagaimana tidak mengejutkan. Bukankah semalam Umak masih melahap sate Padang dan segelas susu hangat. Siangnya makan soto ayam dan secangkir teh manis panas. Bahkan, kami sempat pergi membeli oleh-oleh di Asese, Jalan Thamrin.
Sepanjang jalan, kami mengobrol ringan tentang apa yang terlihat dan teringat, meski Umak selalu menanggapi dengan, “Entahlah, sudah tak ingat. Umak sudah banyak lupa.”
Maka, kuceritakan kembali apa yang mungkin sudah terlupa.
Umak, yang pertama mengajariku bahwa ayat Al-Quran bisa menjadi puisi. Waktu kelas tiga SD, Umak mengajariku baca puisi dari terjemahan Surah Al-Ikhlas untuk acara perpisahan sekolah.
Umak, dengan lantunan suaranya membaca Al-Quran yang selalu terngiang di benakku. Pelan, seperti berbisik, tapi mengalir lancar dengan lagu dan langgam khasnya.
Umak, yang pagi-pagi suka memetiki putik melati sepulang dari masjid. Kuncup putih basah berembun itu diselipkan di lipatan mukena. Sejak kecil, bagiku, harum melati selalu berarti Umak.
Umak berangkat pagi-pagi. Wajahnya bersih bersinar. Perjalanan panjangnya telah tunai, 85 tahun usia yang penuh makna.
Kini, satu obsesiku: menjalani hidup dengan benar, agar kelak aku pun mendapatkan akhir yang tenang, seperti yang beliau contohkan.
Komentar
Posting Komentar