Postingan

Menampilkan postingan dengan label puisi

Tiga Penyair Membuka Jaktent

Gambar
  Semalam saya menghadiri acara pembukaan Jaktent. Acaranya berlangsung hanya selama satu jam, tapi sangat mengesankan. Mata acara penghujungnya adalah yang paling menarik. Setelah beberapa percakapan seremonial, tiga penyair tampil untuk membacakan puisi. Satu dari Palestina, Maya al Hayyat. Dua dari Indonesia, Aan Mansyur dan Rebecca Kezia.  Maya al Hayyat baca tiga puisi dalam bahasa Arab karyanya sendiri, dengan terjemahan inggris disorotkan ke layar besar di depan. Aan dan Becca masing-masing baca dua puisi karya penyair Palestina, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Taufiq Ismail.  Jarang saya bisa merasa begitu terpukau menyaksikan sebuah penampilan pembacaan puisi. Puisi bahasa Arab meski terasa asing namun asyik didengar karena rima syairnya, panjang pendek kalimat dan baitnya, membuatnya mengalun seperti musik. Puisi terjemahan Taufiq Ismail berhasil menggali kekayaan daya ekspresi bahasa Indonesia, sehingga tak kalah piawai mendentingkan bunyi d...

Lewati Puncak Keindahan

Gambar
"Beauty in Decay" (c) Yuliani Liputo Kuntum ini telah melewati puncak keindahan.  Dua hari yang lalu, dia berupa bunga mekar dengan rona oranye menawan. Saat itu barangkali ia dihinggapi rasa mendekati keabadian,  menduga akan selamanya demikian. 

Anak-anak Belajar dari Hidup

Gambar
Dorothy Law Nolte, seorang wanita yang memahami pentingnya lingkungan yang positif dalam pengasuhan anak. Lahir pada Januari 1924 di Los Angeles, California, Dorothy dikenal sebagai pakar pendidikan dan pengasuhan anak, penasihat keluarga, dan penulis yang terkenal dengan puisi inspiratifnya, Children Learn What They Live.  Puisi ini pertama kali dimuat di koran The Torrance Herald pada 1954, dan sangat disukai pembaca:  orang-orang menempelkannya di pintu lemari es, dicetak pada poster dan disebarkan, serta didistribusikan ke jutaan orangtua oleh produsen susu formula. Dia mencatatkan hak cipta puisi ini pada 1972, lalu pada 1998 mengembangkannya menjadi sebuah buku, yang ditulisnya bersama Rachel Harris, Children Learn What They Live: Parenting to Inspire Values . Buku tersebut telah dicetak lebih dari 3 juta eksemplar di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa. Dorothy Law Nolte wafat pada November 2005, dalam usia 81 tahun. Warisannya sebagai pendidik or...

Telur salmon

Gambar
Jamuan siang itu adalah tiga tumpukan bola-bola telur salmon Di atas gumpalan nasi berbalut selendang oranye tipis Disusun cermat dalam tiga lingkaran bersinggungan berhias parutan lobak putih dan irisan lemon

Hotaru dan Haiku

Gambar
  Ochanomizu hotaru. Kobayashi Kiyochika, circa 1880 Pada awal musim hujan seperti sekarang, saya dan anak-anak suka duduk di teras belakang menjelang malam, melihat kunang-kunang. Waktu kecil, mereka pernah benar-benar menangkap beberapa kunang-kunang dan menyimpannya di dalam botol kaca, hanya untuk mencoba membuat lampu kunang-kunang seperti banyak digambarkan dalam komik dan anime, lalu dilepas lagi. Ada kesan lembut dan halus pada kunang-kunang yang membuatnya amat menarik perhatian. Kelap-kelipnya yang lemah dan terbangnya yang lambat seperti suar bergerak dalam gelap. Daya tarik makhluk bercahaya ini membuat berkembangnya banyak cerita rakyat, mitos, takhayul, dan puisi terkait dengan kunang-kunang dalam berbagai latar budaya.     Di Indonesia, misalnya, dikatakan bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang mati. Di Cina zaman kuno, kunang-kunang diyakini berasal dari pembakaran rumput. Naskah Cina kuno mengisyaratkan bahwa hobi yang populer di musim panas ...

Selamat Jalan, Pujangga

Gambar
Fotó: Marc Riboud: France, 2006. Ketika seorang penyair pergi Pepohonan merundukkan dahan Ombak-ombak beriak pelan Angin senyap Surya lindap Dia milik kita semua Pada bait-bait sajaknya kita temukan  apa yang tak mampu diungkap Karena pena kita lumpuh tertatih  Lidah kelu mengeja satu satu apa yang sejatinya ingin diucap Ujung pena lelah menunggu titah yang tak kunjung tiba Jejak tinta hanya menjadi satu titik gelap melebar Ketika seorang penyair pergi Kita menyimak lagi puisi-puisi lamanya  Meraba kembali jejak makna Sebuah koma yang jatuh tepat Sebelum kata-kata tercekat Selamat jalan, Pujangga Kautahu hati kami berlapis duka hari ini Ketika kami kembali membuka lembaran buku puisimu Ketika jasadmu tak lagi di sini Bandung, 19 Juli 2020  Diiringi doa, untuk Eyang Sapardi

Hujan Pagi Hari

Gambar
Hujan pagi menahan laju langkah kita hari ini. Semua ingin lebih bergegas, tapi sadar mereka justru harus lebih bersabar. Langit kelabu mengundang cemas akan bahaya. Rintik di kaca jendela menetes seperti airmata. Tapi lihatlah, warna-warni payung dan jas hujan meriah memikat mata. Dan cangkir minuman terasa lebih hangat dalam rengkuh genggaman. Ya, kita semua sama-sama tertahan di sini.  Tak ada yang ingin semangatnya terusik basahnya pagi. Lokasi foto: Jalan Soekarno Hatta, Bandung 

Garis Batas dan Titik Temu

Gambar
Langit, bumi. Ombak, pasir. Siang, malam.  Pantai adalah titik temu, sekaligus garis batas. Karena itu ia selalu dirindu. Kusesali jika di garis batas ini Orang kehilangan nyali Untuk ikuti petunjuk dari hati Lalu biarkan dirinya hanyut Dalam pusaran arus  Lupa pada tujuan asali Asalkan dapat validasi

Haiku

Gambar
Jepang memiliki tradisi puitis yang panjang dan mengakar. Seorang yang hidup di lingkungan kerajaan Jepang klasik harus cakap menggubah syair untuk setiap kesempatan. Orang-orang pada saat itu senantiasa menyelipkan puisi dalam percakapan dan surat menyurat. Jika dia tidak bisa menyusun puisi dengan seketika, posisinya terancam. Bisa-bisa dia dipandang sebagai seorang tidak cakap dan kasar. Salah satu varian puisi Jepang yang terus digemari hingga sekarang dan mulai menyebar ke seluruh penjuru adalah haiku. Kepiawaian menyelipkan haiku dalam percakapan bahasa Jepang barangkali merupakan ukuran kehalusan berbahasa, sebagaimana kepiawaian orang Melayu berpantun. Haiku disebut sebagai salah satu ekspor budaya Jepang yang paling sukses. Haiku adalah puisi singkat terdiri atas tiga baris dengan rima suku kata 5-7-5. Isi haiku biasanya mengungkap pergantian musim dan perasaan yang terkait dengannya. Setiap haiku memuat setidaknya satu kata yang merujuk pada musim atau alam. Keunika...

Kelahiran puisiku

Puisiku lahir dari solilokui Dalam perjalanan panjang  Menembus pekat malam Menunggu dalam antrean Puisiku lahir dari observasi  Pikiran yang tak henti bicara  Ego-ego yang ingin menang Orang-orang berebut perhatian Suara-suara yang ingin pengakuan Puisiku ingin mengatakan kepadamu Aku tak takut melihat ke dalam Inilah yang kupahami dari diriku dan dirimu Kini kutunggu puisimu

Story of picture

Gambar
Your eyes can bring life to the death Those faces frozen in time, framed in the wall, shining from pages, beaming from screens Waving from ageless past All suddenly come alive just by your gaze Your eyes can bring death to the living When you pause their breath By a touch to stop the flow of time The moment you see will forever stand-still Racing into the countless future And for a tiny second, you and I meet in a timeless eternity

So it is like this

What I see when the sun goes down Is the birth of a new day So cherish my heart with the warmth that remained When the new day is born I find poetry in the perfect morning With bright sky after rain I know... night is the darkest precisely just before sunrise

Ludwigstrasse senjakala

Gambar
Lorong itu akan mengantarkanmu ke tempat dulu kita bertemu menikmat kebab hangat di kios ujung jalan  di depan stasiun yang tak pernah sepi. Sang pelayan lupa menyuguhkan yang kau pesan, secangkir teh susu tanpa gula. Tapi dingin dua derajat membuat santapan sederhana itu luar biasa nikmat. Merpati hinggap tepat di atas tiang rambu jalan di depanmu, sore menjelang malam. Tikungan jalan dekat Hotel Hoechst

Di stasiun kereta

Gambar
Hanya lima menit, tak lebih dari lima menit atau bahkan lebih segera. Kau bilang terlalu singkat. Tapi bagiku sejenak itu pun berharga. Untuk melanjutkan sedikit lagi cerita. Sebelum kereta tiba.

Dua yang Tiada Berhingga

Gambar
Photo credit: Michal Collection/CanvaPro " I only know two things that are infinite: the universe and human stupidity."  --Albert Einstein Delapan orang di dalam ruangan ini.  Duduk bersama membicarakan angka-angka,  meminyaki mesin yang sekrupnya manusia-manusia. Kata-kata dilemparkan ke tengah meja.  Agenda rabun tak terbaca.  Masing-masing membawa berita,  tentang kekonyolan kita yang memang tiada berhingga.  Bukankah kita senantiasa suka menertawakannya. Untung di pojok ada sebuah jendela.  Sepetak angkasa tergambar di sana. Ya, hanya langit yang bisa terlihat dari jendela di lantai tiga puluh tiga.  Juga jejak asap pesawat udara. Kala jemu mulai melanda,  kulempar tatap ke ujung nirwana.  Kutemukan sebuah lagi yang kata Einstein tiada berhingga:  Hamparan luas alam semesta.

zen poems

Gambar
Jeda siang sejenak, saya teringat beberapa puisi zen. Kalimat-kalimat pendek, gampang diingat. Terasa indah karena sederhana, tapi tetap menyimpan sedikit godaan untuk merenungkan makna. Keajaiban zen. Jernih. Meditatif. Beberapa pilihan ini, favorit saya: (1) Sitting quietly, doing nothing, Spring comes, and the grass grows by itself. (2) The blue mountains are of themselves blue mountains; The white clouds are of themselves white clouds. (3) Doing nothing is the most tiresome job in the world because you cannot quit and rest. (4) Fearing my past is exposed to the moon, I keep looking down this evening. (5) Before enlightenment; chop wood, carry water. After enlightenment; chop wood, carry water. Seperti air yang menetes ke dalam kolam tenang, menimbulkan riak kemudian menghilang. Itulah zen. Nikmat betul meresapinya di siang terik ini, dengan latar gemerisik tonggeret dari rimbun pohon di luar sana.

Pukul dua

huh, terlalu gampang kalian jatuh tertidur sementara aku termenung di sini iri mendengar tarikan napas teratur dalam nyenyak yang tak kunjung hinggap di mataku kalian entah sudah di mana menapak tak berjejak di dunia tak terpeta mungkin ingin yang tak teraih siang tadi kini telah tergenggam di jemari mata kalian terkatup bibir kadang menyungging senyum, atau menegang menampakkan kecewa nyaris menangis tanpa suara atau mengeluarkan bunyi mirip sepatah kata aku hanya bisa rindu akan kelelapan yang serupa karena kantuk masih belum tiba meski jam telah berdentang pukul dua aku tahu kalau berkah ketaksadaran itu belum juga kuraih dalam satu jam ini aku takkan bertenaga memenuhi janji dengan kalian esok pagi atau untuk ikut berlari di sepanjang hari menemani kalian ke sana kemari siapa itu yang bilang agar kantuk lekas datang gerakkan ujung jari kaki berkali-kali hm, baiklah mari kucoba lagi

Dua puisi

Sabtu lalu saya menghadiri workshop puisi FLP Jepang di Komaba. Saya tak pernah mencoba menulis puisi dan jarang sekali membaca puisi. Ada anggapan tak teruji bahwa puisi sulit dinikmati dan sulit untuk ditulis. Saya bukan pengapresiasi puisi yang baik.  Ketika ada sesi untuk berlatih kemarin, saya tidak mengambil kesempatan untuk mencoba menulis puisi, selain karena saya disibukkan dengan tangis Rasyad, juga karena ide yang tak kunjung ditangkap.  Saya merasa punya utang pada diri sendiri untuk mencipta puisi setelah repot-repot ikutan workshop itu.  Lewat tengah malam keesokan harinya, setelah Rasyad kembali tertidur sehabis diganti popoknya, saya tiba-tiba mendapat ide untuk menulis sebuah puisi, dan langsung saya catat saat itu juga. Inilah hasilnya, puisi saya yang pertama setelah bertahun-tahun:  Menyambut musim semi   Musim yang menggigilkan ini tampaknya akan segera berganti  Ketika kubuka jendela pagi, udara yang kuhirup dalam-dalam  membawaka...